Kanaya

18K 753 5
                                    

"Told you before i'm starting to mess your mind with my messy world, there is no turning back option."

Aku memijat-mijat keningku yang mulai pusing. Berhasil satu kalimat pagi ini. Setidaknya itu sudah jauh lebih baik daripada tiga hari lalu, yang habis berturut-turut tanpa satu pun kalimat bisa kutuliskan dalam layar laptop putihku.

Ponsel hitam yang kugeletakkan jauh dari meja kerjaku terlihat sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda menyala. Sengaja memang aku mengaktifkan fitur "don't disturb" agar kali ini, otakku benar-benar bisa bekerja lagi.

Sebagai seorang penulis pemula, yang memang baru mengeluarkan satu buku, aku merasa bahwa pekerjaan yang awalnya kuinginkan ini, ternyata bisa semenyiksa ini.

Hampir semua orang terdekatku tahu, bahwa pekerjaan sebagai penulis ini, adalah satu-satunya pekerjaan yang selama ini kuinginkan.

Satu pekerjaan yang membuatku dengan sadar menukar posisi sebagai leader project di Gamma.co, yaitu sebuah event organizer besar di Yogyakarta, menjadi seorang penulis yang mengatur jam kerjanya sendiri, dan menciptakan ruang kerjanya di dalam satu unit apartemen sederhana yang kubeli dengan tabungan selama aku bekerja di EO dua tahun lalu.

Sekali lagi aku melirik layar laptopku yang hanya berisi satu kalimat pembuka, membiarkan kursornya berkedip-kedip seolah bertanya kapan aku membuat kalimat lanjutannya.

Dan nyatanya, otakku memang sedang sebuntu itu sekarang.

----------

Hampir dua jam aku akhirnya memutuskan untuk keluar apartemen, dan berjalan-jalan di daerah sekitar Malioboro.

Aku sendiri juga heran, hampir tiga tahun berada di kota ini sejak kepindahanku dari Malang selepas kuliah dulu, tetapi tempat dan jalanan ini bahkan selalu menjadi tujuanku untuk berjalan-jalan.

Entah itu sekadar mencari makan di depan Beringharjo, atau cuma bolak-balik di sekitar titik nol kilometer untuk duduk dan menikmati hiruk pikuk Jogja.

Hal yang selalu diprotes oleh Arka, laki-laki yang resmi menjadi kekasihku satu tahun lalu.

"Kamu kaya' nggak ada kegiatan lain aja selain jalan-jalan di Malioboro. Disana kan rame, yang ada bukannya idemu nambah, malah pusing kamu nanti."

Omelan bernada dingin yang entah sudah berapa ratus kali kudengarkan dari Arka setiap kali kami memutuskan bertemu.

"Ya memang aku nggak ada kerjaan lain. Aku perlu jalan-jalan bukan cuma karena aku butuh ide tulisan, tapi biar aku nggak jenuh karena sepanjang hari nulis dan dicuekin pacarku sendiri."

Saat itu sengaja aku menyindirnya, toh memang benar apa yang kusebutkan.

Padahal kami masih sama-sama tinggal di Jogja, cuma rumah Arka ada di daerah Sleman dan aku menyewa apartemen di daerah Malioboro.
Tetapi aku sendiri paham, bukan soal itu saja yang membuat aku dan Arka memutuskan untuk tidak sering-sering bertemu, melainkan karena pekerjaan Arka sebagai seorang pengacara lah, yang sedikit banyak membuatku memilih untuk maklum.

"Aku bukannya cuek, tapi kerja.."

Dan kalimat yang masih bernada dingin itu sekali lagi membungkam semua protesku terhadap laki-laki itu.

Selalu.

Burnt Bridge (Completed)Where stories live. Discover now