"Tapi...bibir kamu...mirip deh sama punya Mamah kamu." Kini Hana merasa bangga bahwa ada bagian dari dirinya yang terdapat pada bayinya.

"Arti nama bayi kamu apa, Yoh?" kembali Deby menoleh saat bertanya dan kembali didapati temannya terlihat berfikir. Deby menghela nafas kini Deby mendekat pada teman karibnya –ibu dari si bayi- yang sedang duduk diatas ranjang.

"Kamu masih diemin Pak Nuel ya?" tanya Deby secara langsung dengan tatapan menuduh.

Hana menatap teman karibnya sekilas kemudian berpaling.

Kembali Deby menghela nafas. Deby heran kenapa teman karibnya bisa menjadi keras kepala. "Emang mau sampai kapan kamu diemin suami kamu?" tanya Deby dengan sabar. "Kamu juga perlu dengerin penjelasan dia, Yoh." Deby meraih tangan Hana, namun tidak membuat teman karibnya itu menoleh padanya. "Apa yang kamu khawatirkan, hm?"

Hana mengerjap-ngerjapkan matanya yang sudah menumpuk banyak air. Hana berusaha untuk menahan agar air itu tidak meluncur dan membasahi pipinya.

"Kemana teman aku yang dulu bilang? Tiap orang berhak mendapatkan kesempatan. Memaafkan dan tidak menyimpan dendam hal yang akan membuat hati kita damai." Deby tersenyum miring. "Ternyata bisanya Cuma teori, praktek nol." Cibir Deby.

Hana menyentak genggaman tangan Deby namun tidak sampai terlepas. Hana menatap Deby tidak terima. "Kamu enggak tahu, Deb. Gimana rasanya dimanfaatkan?" ucap Hana dengan tenggorokan yang tercekat.

Deby menatap lembut teman karibnya. "Katakanlah, aku enggak tahu gimana rasanya, Yoh. Tapi...aku enggak buta untuk melihat cinta yang begitu besar yang dimiliki Pak Nuel buat kamu."

Hana terisak mendengar perkataan Deby, air mata yang sudah ia tahan kini jatuh membasahi pipinya. Hana juga bukan orang buta yang tidak bisa melihat cinta yang dimiliki suaminya untuknya. Hana juga tidak mati rasa untuk bisa merasakan perasaan tulus dari suaminya. Namun...entah mengapa hati Hana tetap meragu.

"Yoh...ada yang ingin ketemu sama kamu." Kening Hana berkerut, tatapannya menyiratkan kebingungan mendengar perkataan Deby. "Aku hanya ingin kamu tidak menjadi keras kepala barang sejenak saja. Aku harap kamu bisa mendengarkan dengan baik." Deby tersenyum sembari menggenggam lebih erat memberi Hana keyakinan bahwa orang yang akan menemuinya tidak akan menyakitinya.

Hana melihat Deby beranjak meninggalkannya. Hana terlihat mengawasi pintu ada perasaan cemas barang secuil dan bertanya dalam hati siapa orang yang Deby maksud.

Suara langkah kaki membuat Hana lebih memfokuskan diri. Pupil mata Hana membesar secara perlahan mengetahui siapa yang sedang berjalan kearahnya.

"Yohana." Sapa orang yang dimaksud Deby. Orang tersebut tersenyum canggung pada Hana. Dapat dilihat keharuan pada raut wajah orang tersebut.

"Nenek." Lirih Hana.

"Aku harap kamu tidak mengusirku." Ucap orang tersebut, Mira, nenek mertuanya. Mira berjalan pelan mendekati box bayi yang berada disebelah ranjang cucu menantunya. Dilihatnya bayi mungil yang kini sudah memejamkan matanya. Mira melihat nama yang tertera. "Nama yang bagus." Ucapnya sembari tersenyum. Mira tahu cucunya tidak akan sembarangan memberi nama pada cicitnya.

Hana memperhatikan Mira yang masih setia menatap bayinya. Hana juga dengan jelas melihat senyum Mira untuk bayinya.

"Boleh aku duduk?" tanya Mira setelah ia selesai melihat cicit-nya. Mira melihat cucu menantunya mengangguk pelan, mengiyakan. Mira duduk di kursi sebelah ranjang Hana.

Hana dan Mira saling berpandangan tanpa kata yang terucap. Mira merasa bersyukur bahwa dihadapannya ia masih melihat cucu menantunya memberikan senyuman walaupun tipis.

Be My Wife (Complete)Onde histórias criam vida. Descubra agora