17.1. My Dearest is A Programmer- Unexpeted

Mulai dari awal
                                        

“Kamu nggak mau ketemu sama Ardian ??”

Abel baru saja ingat jika ia belum mengabari Ardian sudah hampir satu minggu karena terlalu sibuk kuliah. Abel juga tidak sempat mengunjungi Ardian lagi di rumah sakit setelah Mama Ardian menginap dirumahnya. Terakhir kabar yang ia dapat dari Dila jika Ardian sudah keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Abel tidak sempat untuk ikut mengantar Ardian kembali ke rumahnya, karena Ardian pulang saat Abel masih di kantor.

Abel mengambil ponselnya di samping televisi di ruang tengah, Dila mengekor dari belakang. Tidak ada satu pun WhatsApp atau pun telepon dari Ardian. Terakhir merkea berkirim pesan sebelum pergi ke event di universitas Ganesha. Abel menghela napas lalu mendudukan diri di atas karpet cendol.

“Kenapa ??” Dila ikut duduk di hadapan Abel.

Komunikasi menjadi salah satu masalah dalam hubungan Abel dan Ardian. Abel dengan sepenuh hati bersedia untuk menghubungi Ardian setiap saat, tapi Ardian dengan seenak jidatnya menghubungi Abel seperlunya. Hubungannya bahkan lebih buruk dari sekadar teman, Abel terlihat seperti hanya kenalan Ardian.

Abel tak habis pikir, Ardian memasang WhatsApp, Line, dan aplikasi sosial media lainnya –yang terhubung dengan Abel- pada ponsel dan laptopnya. Tapi ia kesulitan untuk sekadar mengirim pesan pada Abel. Jika pun mereka berhasil mengirim pesan lalu sesaat kemudian Ardian menghilang, pesan dari Abel akan dibaca berjam-jam kemudian atau keesokan harinya.

Memang apa yang gue harapin dari cowok yang nggak punya perasaan sama gue ??’ kilasan Ardian dipeluk oleh Risa kembali masuk ke dalam pikirannya. Pelukan itu sudah lebih dari cukup menjelaskan bahwa pernyataan cinta Abel beberapa waktu yang lalu adalah hal yang biasa, bukan sesuatu yang penting.

“Nggak ada kabar dari Ardian.” Ujar Abel dengan lemas.

“Loh aku kira kamu ngambil hp tuh mau ngabarin Ardian duluan.”

Abel menggeleng, “Aku pikir, Ardian mau ngasih sedikit rasa sama aku, aku pikir dia mau ngabarin aku duluan.”

“Ardian itu sama kaya Fandi, mereka susah ngasih kabar duluan.” Ujar Dila menenangkan, “tapi setelah aku menjelaskan dengan detail pada Fandi, dia pun ngerti seberapa pentingnya saling memberi kabar itu.” lanjut Dila. “Kamu juga coba jelasin sama Ardian biar dia ngerti. Cowok programmer itu emang beda sama cowok yang lain.”

Abel hanya terdiam menunduk.

“Jadi mau gimana ??”

“Aku enggk bakal ngasih kabar ke Ardian kalo aku pulang ke Bandung, kalo aku cukup penting buat dia, dia bakal nyariin aku.”

Dila tersenyum, ide Abel tidak buruk, setidaknya ia harus sedikit memberi pelajaran pada Ardian. “Coba kamu nulis surat, seenggaknya ada sedikit petunjuk kalau si Ardian mau nyari kamu.” Dila mengobrak-abrik tasnya, “Ah iya!!! Aku engga bawa sticky notes, sticky notes-nya disimpan di laptop.”

Abel menepuk dahinya pelan. Programmer tetap saja programmer, tidak ada bedanya dia laki-laki atau perempuan. Yang Abel ingat programmer itu malas menulis entah tidak bisa menulis, mereka biasa mengetik –sama seperti dia- tapi Abel masih sering tulis menulis karena tidak mungkin ia membuka laptop setiap saat –saat mendapat ide untuk konten-. Abel jarang menemukan alat tulis di meja bagian IT. Mereka lebih senang mengeprint sesuatu pada kertas dari pada menuliskannya dengan tangan secara langsung.

Abel bangkit menuju kamar untuk mengambil pulpen, buku, dan amplop berwarna coklat berukuran sedang. Setelah selesai menulis Abel memasukan kertasnya ke dalam amplop dan memberikannya pada Dila. “Kakak kasih aja kalo Ardian kesini, itu pun kalo dia minta. Kalo dia enggak kesini kakak jangan kasih ya...” Abel mengeluarkan puppy eyes no jutsu andalannya.

Dila langsung mengusapkan telapak tangannya pada wajah Abel, “Udah engak usah pake mata kaya gitu, aku malah kasihan lihatnya.” Abel dan Dila pun tertawa.

“Kenapa kita enggak nyewa Gocar aja sih, Bel ??” tanya Fikri setengah mengeluh sambil tetap menjalankan motornya menuju Terminal Kampung Rambutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kenapa kita enggak nyewa Gocar aja sih, Bel ??” tanya Fikri setengah mengeluh sambil tetap menjalankan motornya menuju Terminal Kampung Rambutan. Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, Fikri menjemput Abel. Mereka memang sudah berencana untuk pulang ke Bandung bersama, meskipun Fikri hanya akan berada di Banndung lima hari dan Abel tujuh hari.

“Pertama, ongkos Gocar lumayan mahal dari rumah gue ke Bandung. Kedua, gue udah lama enggak naik bus. Ketiga, kalo naik Gocar bisa ketahuan sama Ardian kalo gue pergi sama elu. Ya walau alasan yang ketiga gue enggak yakin sih.” Abel menjelaskan sambil menunjukan jarinya.

“Maksud lo ??”

“Gue nggak yakin Ardian bakal nyariin gue!! Kalo pun beneran nyariin gue, bisa aja dia nyadap hp gue terus liat record pemesanan Gocar gue. Terus lo mau tiba-tiba dia muncul di Terminal Leuwi Panjang pas kita turun dari Gocar ??”

“Lah positif thinking aja, siapa tau dia beneran sayang sama lo, takut lo kenapa-kenapa. Terus dia nyariin lo ampe ke Bandung.” Fikri sedikit menaikan kecepatan motornya, Abel mengeratkan pegangannya pada jaket Fikri.

“Enggak mungkin, dia baru keluar dari rumah sakit, kedua dia lagi seneng-seneng sama cewek yang kapan hari meluk dia di rumah sakit.”

Fikri menjentikan jarinya, “Nah!! Itu lo punya alasan kan. Yaudah kita pesen Gocar aja, kita tinggal patungan.”

“Pokoknya enggak!!” final Abel.

Fikri menghela napas menyerah, “Lo masih aja sengklek gara-gara si Ardian pelukan...”

“Dipeluk bukan pelukan.” Koreksi Abel.

“Iya. Lo enggak bisa berpikir positif gitu, misalnya mereka sahabatan, adek-kakakaan atau apa gitu ??”

“Nggak!! Itu udah nggak bisa di tolerir, masa iya sahabatan pake peluk-pelukan segala kaya gitu.”

“Lah!! Terus lo ngapain peluk-peluk gue kalo lagi bahagia ??”

Abel menggeplak pelan lengan Fikri, “Itu beda lagi!!” Muka Abel bersemu merah.

“Kenapa lo nggak coba tanya sama Ardian apa hubungan dia sama cewek itu ??”

“Lo pikir dia bakal ngaku ??” Abel menoyor pelan kepala Fikri.

Fikri mengedigkan bahu, “Ya kalo emang enggak ada apa-apa, kenapa mesti disembunyiin ??”

Tapi semua udah jelas di depan mata gue.’ Batin Abel. “Everything is clear in my mind.

Woman with her speculation.” Fikri mendengus pelan lalu memarkirkan motornya. “Jangan tinggalin gue kaya waktu di kantor!!” desis Fikri mengancam. Bulu kuduk Abel meremang menyadari Fikri mode galaknya.

TBC

My Dearest is A ProgrammerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang