part 23

32 0 0
                                    

Luka masih akan tetap menjadi luka jika menceritakannya saja masih membuatmu meneteskan air mata.

***

Sudah hampir lima hari Naya mengurung diri di kamar. Berkali-kali pula Linda mengetuk pintu putrinya tersebut, namun Naya bahkan tidak menjawab sedikitpun. Semakin itu terjadi membuat Linda menjadi lebih khawatir akan putrinya.

Setiap hari Linda semakin khawatir pada Naya. Sempat terbesit olehnya untuk mendobrak saja pintu kamar Naya, namun ia mengurungkan niatnya segera karena suatu malam dia melihat Naya keluar kamar dan hal itu terjadi pada malam-malam berikutnya. Setiap malam itulah Naya mengisi perutnya dengan beberapa makanan, atau sekedar menghirup udara malam. Linda yang melihat itu dari kejauhan hanya dapat terdiam dan membisu. Karena kini ia dan Naya berada di jarak yang terbentang luas.

***
Malam ini Naya memilih keluar dari rumahnya sekedar memberikan suasana baru bagi dirinya karena selalu berada di rumah. Jujur berlama-lama di dalam rumah itu bukan gayanya.

Belakangan ini setiap kali teman-temannya mengajak Naya sekedar bermain keluar Naya selalu mencari banyak alasan,  bahkan ia sudah diberi surat peringatan kerja dari cafe tempat ia bekerja. 

"Naya, kau sungguh ingin dipecat?" ujar suara diseberang telpon sana.

Naya menghela panjang napasnya. "Aku sedang tidak bisa keluar."

"Setidaknya berikan alasan yang logis,  apa-apaan alasanmu itu."

"Aku tidak ingin berbohong," ujar Naya pasrah.

"Yasudahlah,  cepatlah kembali."

"Iya."

"Aku tutup dulu,  cepatlah baik-baik saja, Nay."

Begitulah singkat percakapan lewat telepon antara Naya dengan rekan kerjanya. Ia sungguh tidak beranjak kemana-mana selain dari kamar dan dapurnya pada malam hari.

Malam ini hanya ada sedikit cahaya rembulan, angin dingin seolah ingin menusuk hingga ke dalam kulit, tapi itu tidak menjadi penghalang bagi orang-orang di sini. Berbagai macam suara mesin motor telah menjadi suatu ciri khas yang melekat pada tempat ini, suara yang seolah sahut menyahut satu dan yang lainnya. Deretan motor telah berbaris pada belakang garis putih yang telah ditetapkan. Sorakan orang-orang dari berbagai arah seolah ingin ikut bersaing mengalahkan suara motor. Tidak ada pencahayaan yang begitu terang, tapi tempat ini terasa begitu hidup malam ini.

Naya mengenakan jaket kulitnya yang sejak tadi ia pegang, lalu berjalan santai ke arah motornya yang telah dibantu persiapkan oleh beberapa orang.

"Thanks," ujar Naya pada orang-orang tersebut.

"Urwell, Nay. Jangan lupa menang hari ini, oke?"

"Of course, Jho." Naya tersenyum ringan pada pria yang ia panggil Jho tersebut.

Siapa yang tidak mengenal Naya di sini, bahkan hampir seluruhnya menjadikan Naya sebagai panutan karena selalu berhasil di posisi tiga besar dalam setiap pertandingan. Hal yang terpenting adalah mayoritas di sini adalah kaum adam, namun mereka semua sangat menghormati dan menghargai Naya.

Jho dan rekannya berlalu meninggalkan Naya dan menuju ke tempat para penonton lainnya. Naya segera mengambil posisi di belakang garis putih, namun sedikit di ujung karena menurutnya itu lebih aman.

"Hey! Apa kau baru saja kembali dari hibernasi?"

Naya menoleh pada sumber suara, ia langsung mematikan motornya dan langsung memukul kepala belakang orang tersebut, bukan pukulan kebencian yang penuh hasrat membunuh tapi hanya pukulan sapaan. Siapa lagi kalau bukan Diyon.

Me, Time And Sorry Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang