DELAPAN

8 0 0
                                    


Tak terasa hari pementasan drama pun tiba. Hari ini, Airin datang lebih awal untuk latihan sendiri di backstage. Airin harus total. Airin harus maksimal. Airin selalu memiliki standar tinggi untuk dirinya sendiri dalam hal apapun.

Namun... meski ia berkali-kali gagal, ia tak akan menyerah. Airin terus mengulang sampai ia sendiri kewalahan dan mulai menangis frustasi.

"Iya... kayak gitu caranya nangis, Ai... tapi kenapa gak bikin lega? Kenapa beban di hati ini gak hilang juga?!" kata Airin kepada dirinya sendiri sambil melempar naskah keluar dari panggung.

Di saat yang bersamaan, seseorang datang memasuki Aula. Seorang pria berbadan tegap dengan kulit sawo matang cukuplah menambah kesan manis dengan kacamata kotak berbingkainya. Pria itu memasuki aula dengan hati-hati karena sudah sedaritadi ia mendengar suara seseorang yang terdengar meraung-raung.

Saat sudah memasuki aula tanpa suara dan gerakan yang berarti, pria itu melihat Airin dengan keadaan yang cukup kacau. Airin hanya mengenakan tanktop yang dibalut dengan jaket merah muda Adidas beserta celana legging panjang berwarna grey yang membuat Airin terkesan hendak senam.

Tapi.... Seksi.

Airin? Is she okay?

Agam terkaget-kaget saat Airin melempar naskah drama keluar panggung. Tanpa sadar akan hadirnya Agam, Airin mulai meringkuk duduk menahan kekacauan dirinya yang hendak meledak.

Agam pun mulai kebingungan.

"Airin dongo emang!! Airin bego!!!!!" suara Airin menggema di seluruh Aula. Ia berteriak mencoba menenangkan hatinya.

Airin yang semula duduk mulai merebahkan diri diatas panggung hingga ia terkulai lemas. Ia tak tahu lagi apa yang ia rasakan. Airin menangis, tapi rasanya beban di hatinya tak kunjung hilang. Airin sudah meraung-raung, tapi rasanya tetap saja tak terpuaskan.

Airin kembali meringkuk. Ia memaksakan dirinya untuk menangis sejadi-jadinya berhubung waktu kedatangan para peserta lain masih sekitar tiga jam lagi. Namun... tetap saja beban di hatinya tak kunjung hilang.

Airin mulai kembali duduk dengan rambut yang acak-acakan dan mata sembab. Airin bahkan tak memperdulikan lengan jaketnya yang turun hingga menunjukkan pundak putihnya.

Hingga Agam tak kuasa lagi untuk terus sembunyi. Ia pun mendekat menuju panggung.

Di saat yang bersamaan, mendadak Airin terkesiap. Kini ia melihat Agam tepat dihadapannya. Menatapnya dalam penuh arti.

Buru-buru Airin merapikan jaket dan rambutnya. Airin pun berbalik memunggungi Agam.

Sejurus kemudian, Agam pun melompat naik keatas panggung dan duduk di belakang Airin.

Airin tak bisa berkata apa-apa. Ia malu keadaan kacaunya diketahui seseorang. Seorang senior satu tingkat diatasnya sekaligus lawan main dramanya. Airin hanya bisa menunduk. Ia bisa merasakan kehadiran Agam dibelakangnya yang seakan-akan sedang menelanjanginya dengan berbagai pertanyaan.

"Cerita, Ai..." kata Agam tiba-tiba memecah keheningan.

Airin hanya diam.

"Ai, cerita.." kata Agam mengulang.

Airin mulai menggeleng.

"Cerita... plis" pinta Agam lagi.

Airin masih menggeleng kuat-kuat.

Agam pun menghela napas panjang.

"Satu jam lagi, anak Choir bakal dateng. Gak mungkin kan mereka liat lu dengan keadaan kayak gini?" kata Agam.

Airin diam. Ia masih tak bergeming.

"Ai...?" panggil Agam bingung.

"Trus... kok lu masih disini?" tanya Airin yang akhirnya membuka suara.

"Gitu kek daritadi. Ngomong, Ai." Timpal Agam.

Airin mulai tersenyum tipis.

"Gue nanti jadi pengiring Choir." Lanjut Agam lagi yang dibalas anggukan dari Airin.

Airin pun akhirnya berbalik menghadap Agam. Masih menunduk.

"Bawa gue pergi dari sini. Gue mau nenangin diri sebentar." Pinta Airin pada akhirnya.

***

Setelah mendengar permintaan Airin, Agam langsung bergegas menuju mobilnya yang terparkir asal di samping aula. Mobil keluaran lama BMW 3225 E30 hasil turunan dari ayahnya ini pun langsung melesat ke depan aula menjemput Airin.

"Kemana, Ai?" tanya Agam begitu Airin duduk disamping kemudi.

"Danau." Jawab Airin singkat. Dan Agam pun langsung melesat tanpa bertanya.

Perjalanan menuju danau hanya membutuhkan waktu 10 menit. Setibanya disana, Airin langsung keluar menatap kosong ke hamparan air yang beriak. Airin langsung bersandar di kap depan mobil dengan harapan dirinya bisa tenang setelah ini.

Agam sendiri hanya bisa memperhatikan dan tak berani berkomentar banyak.

"Jangan bengong, Ai. Kalo lu kesambet, gue yang bingung nanti." Kata Agam mencoba mencarikan suasana.

Airin pun tersenyum tipis mendengarnya. "Lagi gak bisa bercanda, Kak." Katanya.

"Oke..."

Airin dan Agam diam. Merasakan semilir angin yang memainkan rambut mereka berdua. Suasana jam sembilan pagi memang masih segar hingga Airin tak segan-segan menghirup udara secara rakus dengan harapan beban besar di dadanya bisa segera hilang terbawa angin.

Agam hanya dapat memperhatikan Airin dengan ekor matanya. Ia ingin membiarkan Airin tenang. Ia ingin Airin tetap menjadi lawan mainnya. Ia ingin Airin yang memainkan peran Portia, bukan Audri, meski Audri sudah mewanti-wanti akan hal ini.

Agam pun ikut menunduk. Merasakan keheningan yang perlahan membawa atmosfer yang damai. Agam turut merasakan kedamaian yang memancar dari diri angin semilir danau. Dengan berani, Agam menatap Airin yang kini sedang menutup matanya sembari merasakan nikmatnya angin pagi yang segar.

Tiba-tiba Agam merasakan sesuatu yang janggal. Jantungnya meracu melihat anak rambut Airin yang bergerak lembut menyapu kulit Airin. Rasanya... Agam jadi ingin mengusap anak rambut itu, dengan harapan hal itu bisa membantu Airin untuk tenang.

Ah, enggak. Agam buru-buru tersadar dari pikirannya. Lancang sekali kalau sampai ia harus menyentuh wanita rapuh seperti Airin. Airin betul-betul terlihat rapuh bagaikan gelas kaca tipis yang sama sekali tak boleh disentuh. Kalau tidak, hal itu bisa benar-benar menghancurkannya.

Hingga tiba-tiba, Airin membuka mata dan secara sadar mata mereka bertemu hingga membuat Airin mengerjap menatap Agam. Sigap, Agam buru-buru memalingkan wajahnya. Ia khawatir Airin dapat mendengar detak jantungnya yang tak karuan.

Airin pun menghela napas panjang. Rasanya nyaman sekali berada disini. Sudah lama ia tidak merasakan kenyamanan seperti ini. Entah karena suasananya, atau karena Airin sadar bahwa ia tak sendiri?

Di sini, di tempat yang biasa Airin habiskan waktunya sendiri, mulai ia rasakan sensasi yang berbeda. Airin merasakan ketentraman yang tak biasa. Seakan-akan Airin tak perlu buru-buru pergi, seakan-akan ada tangan yang siap membantu dan menanti.

Airin terus mencoba rileks dengan perlahan tersenyum kepada Agam.

Setidaknya, untuk hari ini saja skizofrenia nya tak muncul dulu. Setidaknya, untuk hari ini saja skizofrenia nya menghilang dulu.

Besok, kalau urusan Airin sudah selesai, Airin akan memfokuskan diri untuk menyembuhkan semua luka dan skizofrenia nya. Ya, Airin akan menyembuhkan dirinya sendiri hingga tidak akan ada hal yang dapat menghancurkannya lagi.

Semoga keinginan Airin hari ini terpenuhi.

"Yuk, balik ke aula. Lu harus jadi keyboardist choir nanti kan?" kata Airin tersenyum kepada Agam.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 09, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

S K I L O V R E N I AWhere stories live. Discover now