TIGA

35 2 0
                                    

Keesokan harinya, Airin tak ada jadwal latihan drama. Ia mulai menulis-nulis tentang apa yang ada dipikirannya. Ia bercumbu dengan kenangan yang Davi tinggalkan. Ia ditemani sepi oleh kehampaan yang Davi berikan.

Aneh. Tapi begitulah. Sudah masuk bulan kedua tapi Airin masih juga belum bisa menerima kenyataan kalau hubungannya dengan Davi sudah berakhir. Ia terus mengirim chat ke kontak LINE Davi yang sudah tidak aktif. Airin masih memanggilnya dengan sebutan sayang, masih melaporkan kegiatan harian, masih juga menanyakan keadaannya meski Airin tau Davi tak akan pernah membalasnya.

Kejam memang. Begitulah keadaan yang Davi tinggalkan.

Airin kembali ditemani sepi dalam selimutnya. Ia mulai membiarkan delusi menguasainya. Ia mulai bertanya-tanya kenapa Davi tak pacaran lagi? Kenapa Davi memutuskan hubungan mereka kalau memang masih cinta? Kenapa.... Kenapa juga dirinya masih belum bisa menerima kenyataan tragis ini?

Airin menangis. Air mata basi yang selalu keluar untuk Davi. Menyedihkan, bukan?

Drrt drrt...

Tiba-tiba ponsel Airin bergetar tanda pesan masuk.

Bu Tifa: Ai, how's life?

Airin sebetulnya malas membalas. Namun... ia merasa memiliki tata krama untuk meladeni kepedulian Tifa.

Airin: Being hate myself

Jawab Airin pada akhirnya.

Bu Tifa: I'll come

Airin hanya membaca dan masih juga diam dalam selimutnya. Ia tak menceritakan keadaannya kepada siapapun termasuk keluarganya.

"Airin, wake up!" perintah Tifa begitu sampai di kamar Airin satu jam kemudian.

Airin sudah kalut daritadi. Ia benar-benar seperti orang gila. Selimutnya entah dimana dan ia hanya meringkuk kaku menatap nanar ke sembarang tempat.

Airin tak bergeming. Ia malu. Ia pun bergerak untuk menarik selimutnya.

"Airin kamu gak boleh kayak gini. Kamu gak boleh sendirian. Mana orang keluargamu yang lain?" Kata Tifa lagi.

Airin menggeleng. "Aku udah biasa sendiri, Bu."

"Cari kesibukan, Airin. Lawan delusi itu!" lanjut Tifa.

Airin masih menggelang. Berkata tak bisa dengan suara pilu yang menyesakkan.

Airin sudah benar-benar lelah dengan keadaannya sendiri. Di tengah perjalanan sepulang latihan drama kemarin, luka di hatinya bisa mendadak terbuka lagi hingga membuatnya lemas tak bertenaga. Seakan-akan ada benda besar dan berat di dadanya hingga ia terus merasakan sakit dan kembali harus menekan dadanya kuat-kuat. Airin lelah. Tapi ia tau ia tak boleh menyerah.

"Saya akan ngomong sama mama kamu." Kata Tifa tiba-tiba, mengancam.

Namun, tak ada respon. Airin diam tak peduli.

"Airin, come on. Kamu jangan begini." Kata Tifa mulai putus asa. Ia menatap cermin yang berada di hadapannya. Tepat di samping tempat tidur Airin.

Sebetulnya, kamar Airin luas. Dengan lemari putih besar tepat di hadapan pintu masuk. Juga tempat tidur king size berwarna pualam di samping lemari dan piano putih berukuran sedang tepat di hadapan tempat tidurnya. Ada juga cermin full body di samping kiri tepat di tempat tidurnya yang dekat dengan kamar mandi. Tapi tetap saja Airin merasa dunianya sempit dan terhimpit.

"Biarin saya begini dulu, Bu. Hari ini aja." Kata Airin pada akhirnya.

Tifa menggeleng.

"Please..." lanjut Airin memohon.

S K I L O V R E N I AWhere stories live. Discover now