PROLOG

125 4 0
                                    

Aku tak dapat menemukan diriku dimanapun.

Aku sudah mencari kesana kemari. Ke setiap penjuru ruangan yang dapat kumasuki. Tapi... tidak ada. Tetap tidak ada tanda-tanda diriku yang sejati.

Dan aku pun terhenti. Termangu gugu di hadapan cermin yang memantulkan bayangan diriku meski aku dalam keadaanragu.

Tapi, rasanya itu bukan aku.

Aku tak mengenalnya.

Tidak. Bukan! Itu... Itu aku?

Bohong... itu pasti bukan aku! Pasti bukan! Kenapa aku sekacau itu???!

Aku pun mundur tak kuasa menatap pantulan diriku di cermin. Namun, tiba-tiba...

Argh!!!

Aku terjerembap.

Aku kini tenggelam di dalam lautan yang tak berdasar. Aku meronta. Mencoba melawan arus yang dapat membawaku semakin dalam. Aku tak tau kemana kelak aku akan terbawa. Semakin dalam kah? Atau aku hanya akan disini saja?

Hingga akhirnya aku menyerah.

Membiarkan diriku mengambang. Mengawang. Meski aku tak tau kelak akan berada dimana.

Tapi yang jelas, pertama-tama aku harus keluar dari sini. Aku harus menemukan lentera untuk kuikuti. Lentera yang dapat membawaku pergi, membawaku kembali 'tuk menemukan diriku yang sejati!

Lentera itu harus membawaku kembali ke duniaku yang baru.

Nanti pokoknya, aku harus cantik!

Aku harus lebih menawan!

Aku harus sempurna!

Ah, tidak! Aku baru sadar aku tidak punya kelopak mata. Bagaimana agar mataku ada kelopaknya???

Davi itu sukanya cewek yang cantik, putih, kurus, mata besar, bibir merah dan seksi.

Namun, kata itu jauh sekali dari diriku. Tak ada hal yang bagus ataupun menarik dari diriku.

Enggak, enggak. Pokoknya aku harus lebih cantik dari aku yang kemarin agar Davi bertekuk lutut kembali kepadaku!

Aku yang kemarin saja bisa membuat Davi jatuh cinta. Itu berarti aku yang lebih cantik nantinya bisa membuat Davi setia di sisiku. Selamanya.

Aku harus bisa!

Harus! Harus!

Aku harus bisa!

Sekarang, aku harus memikirkan cara agar keluar dari samudra ini.

Aku tak boleh berlama-lama disini. Aku harus segera bersama Davi lagi.

"Ai, tunggu..."

Aku terpaku. Tiba-tiba ada suara yang memanggilku. Suara siapa itu?

"Ai, kalau kamu merubah segala aspek yang ada di dirimu, itu berarti Davi tak bisa menerimamu apa adanya, Ai. Give up! Buka mata kamu lebar-lebar! Akan ada seseorang yang bersedia mencintaimu sejelek apapun kekuranganmu!" lanjut suara itu lagi.

"Enggak, Airin, gapapa!"

Hah? Suara lain?

"Cuma memperbaiki kekurangan di diri kamu, apa salahnya, sih? Yang penting Davi kembali. Yang penting hatimu gak mati lagi. Cuma Davi yang bisa nyembuhin luka ini, Airin. Cuma dia!" lanjut suara yang kedua.

"Inget, Davi, Ai, inget! Cuma dia sang sanguinis yang bisa menenangkan sang melankolis seperti kamu. Percaya itu, Airin, percaya..." lanjutnya lagi.

"Tapi, Airin, kamu jangan bodoh!"

Ah! Apa-apaan sih???!! Suara siapa itu????

"Jadilah diri kamu sendiri! Jangan pedulikan pandangan orang lain, termasuk Davi sekalipun! Ayolah, Airin. It's not like you have to do!"

"Airin...."

"Airin...."

"Airin...."

Airin menggigil. Ia terus panas dingin padahal AC kelas pagi ini tidak dinyalakan. Airin mulai menopang kepalanya. Ia sudah dikuasai suara-suara delusi yang tak berdasar. Suara aneh itu terus berputar-putar di kepala Airin membuat Airin kehilangan akal sehat.

"Diam... diam..."

Airin mulai berdesis sendirian di tengah mata kuliah Speaking. Sebentar lagi gilirannya maju untuk presentasi. Tapi bagaimana ini? Jangankan berbicara di depan kelas, untuk membuka suara saja ia tak sanggup!

"Next group, please..."

Oh no... jangan sekarang.

***

W%

S K I L O V R E N I AWhere stories live. Discover now