[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE
Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...
Ardian begitu menyayangi Zea seperti rasa sayangnya pada sang Mama. Namun, dia tidak ingin adiknya terlalu bergantung pada apa yang dimiliki orang tuanya, dia ingin Zea tumbuh menjadi gadis yang mandiri seperti Abel. Yang tidak Ardian ketahui adalah cara menyampaikan pemikirannya dengan benar pada Zea. Akhirnya selalu seperti tadi, Zea mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Ardian mengetuk-ngetukan jarinya pada meja dengan sedikit gelisah menunggu program yang ia buat berjalan. Di ruang tengah, Sulastri –asisten rumah tangga yang dikirim Milla- tengah membereskan debu dan menata berbagai benda yang sudah Ardian dan Abel beli.
Ardian meregangkan tubuhnya saat program yang ia buat berjalan dengan baik. Dalam diam ia berpikir, “Apa nama itu pengaruh ya sama nasib orang ??” tanyanya pada dirinya sendiri. Menurutnya itu tidak logis, nama merupakan sebuah label pada manusia ataupun benda untuk membedakan satu sama lain. Tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang, karena nasib manusia itu yang menentukan, tidak seperti takdir yang sudah diatur oleh tuhan.
Pertanyaan itu muncul begitu saja dalam pikirannya saat tadi asisten rumah tangga yang dikirim Milla memprkenalkan diri. Selama ini ia menemukan seorang pekerja kasar selalu memiliki nama yang entah apa Ardian harus menyebutnya.
Lalu apa arti namanya ?? apakah berhubungan dengan software ?? tester ?? designer ?? algoritma ?? Ardian tidak pernah tahu dan tak berniat mencari tahu.
Tok...tok...tok..
“Den, kamarnya mau sekalian mbak beresin ??” suara Sulastri terdengar dari balik pintu.
Ardian segera bangkit dan membuka pintu, “Nggak usah mbak, biar nanti saya saja yang beresin.”
“Kan biar den Ardian engga repot, saya engga bakal mengutak-atik barang aden kok.”
Ardian menggeleng, dia ingin akhir pekan nanti membereskan dan mendekor kamar ini dengan Abel. Itu pun jika dia berhasil mengatur jadwalnya setelah menjemput teman-temannya di bandara. “Enggak apa-apa mbak, saya bisa sendiri kok. Mending mbak langsung beresin halaman depan, kalo udah zuhur mbak udahan aja, besok lanjut lagi.” Ardian orang yang sopan dan berbesar hati, dia menghargai pekerjaan orang lain, meskipun hanya seorang asisten rumah tangga, asalkan itu halal.
“Kalo begitu, saya ke depan dulu ya den.” Sulastri berjalan menuju pintu keluar, namun baru beberapa langkah Ardian memanggilnya. “Ada apa den ??”
“Bisa bikinin kopi dulu nggak ?? tolong.” Ardian baru saja ingat jika lidahnya belum merasakan kafein sejak tadi pagi.
“Jangan kaya gitu den, saya nggak enak sama aden kalo aden ngomongnya kaya gitu.” Sulastri merasa tidak enak saat majikannya menggunakan kata ‘tolong’ saat memintanya melakukan sesuatu. Biasanya majikannya akan langsung memerintahnya bahkan tak peduli saat itu dia sedang melakukan pekerjaan lain.
“Udah biasa gitu, jangan terlalu manis ya, mbak.” Setelah mengatakannya Ardian kembali ke kamar tanpa menutup pintu agar Sulastri tidak kerepotan saat mengantarkan kopi itu ke kamarnya.