"Gara-gara tadi gue bilang Bli Radi mulai agak jinak ya? Makanya lo berani?" tanya Sera meledek, tangannya menyambut botol bir berwarna hijau yang masih Jev sodorkan ke arahnya.

Barusan itu, Jev memang hanya menyodorkan bir botolan yang bahkan bisa dibeli di sepanjang pinggir pantai. Namun, kalau sampai hal itu diketahui oleh Radi yang overprotektif-nya sudah dalam batas tidak wajar, bukan tidak mungkin cowok itu bisa kena 'hajar'.

Jev tersenyum geli. "Sebenernya bukan. But, you better keep this a secret. Kalo nggak mau gue—"

"Digantung?" potong Sera.

"Exactly!"

Sera tertawa, kemudian meninju pelan bahu kiri Jev, melepaskan rasa gemasnya pada laki-laki yang sudah hampir dua tahun tak ia temui.

"Gue jadi kangen sama anak-anak hostel," celetuk Sera, tiba-tiba teringat staf-staf hostel milik Radi.

Pekerjaan utama Radi memang arsitek, sama seperti ayahnya dan juga Kenta. Namun beberapa tahun belakangan, kakak kandung Sera itu mencoba peruntungan lain di bidang bisnis penginapan. Radi membuka sebuah hostel kecil-kecilan di daerah Legian, dan Sera memang cukup dekat dengan staf-staf hostel tersebut. Jev termasuk salah satunya.

"Lo kan udah enam hari di Bali, emang belom ke sana?" tanya Jev setelah menenggak bir miliknya.

Sera menggeleng, "Belom. Nggak tau kenapa dari kemaren gue males banget keluar. Jadi ya belom ke mana-mana."

"Bilang aja males ke sana gara-gara gue nggak ada. Nungguin gue balik dari Raja Ampat, kan?" Jev mengerling nakal. Cowok itu memang suka sekali menggoda Sera, untungnya gadis itu sudah kebal.

"Pede!" Sera menempeleng pelan kepala Jev, tak bermaksud menyakiti cowok itu. "Lagian lo ngapain sih? Di Raja Ampat lama amat. Mentang-mentang kuliah tinggal skripsian."

Jev tersenyum malu, tiba-tiba cowok itu menundukkan pandangannya ke arah pasir pantai yang sejak tadi ia pijaki. "Abis ngerayain empat tahunan gue sama Fiona. Gue sama dia kan ketemunya di sana," ujarnya pelan, diam-diam ada nada bangga yang terlepas dari kalimatnya.

Sera mengangguk gemas, entah mengapa senyum malu-malu Jev berhasil memancing kedua sudut bibirnya ikut-ikutan tertarik ke arah berlawanan.

"Lo sama Juno tahun ini juga lima ta—" Jev tak melanjutkan kalimatnya, sadar kalau ucapannya barusan salah kaprah. Senyum yang tadi merekah tulus di bibir Sera, kini berganti dengan senyuman kecut.

"Iya! Gue sama Juno harusnya tahun ini juga lima tahunan. Tapi ternyata gue ngebosenin, makanya diputusin pas lagi cinta-cintanya," sarkas Sera. Gadis itu kemudian tertawa miris, berusaha mengejek dirinya sendiri.

Jev menepuk pelan puncak kepala Sera, berusaha meredam amarah yang kelihatannya sudah sampai ke ubun-ubun. "Terus sekarang lo mau apa? Gue bisa bantu apa?"

"Tadinya sih mau move on, tapi ternyata nggak gampang. Kayaknya gue harus abisin dulu perasaan gue buat Juno, kalo perlu sampe sisa ampasnya doang."

"Come on, Sera. You just need to stop and move on with your life."

Entah sudah berapa kali Sera mendengar kalimat semacam itu dari orang-orang terdekatnya. Dan lagi, sore ini di pesisir Pantai Jimbaran, sambil menyaksikan panorama alam yang terhampar di hadapannya, Sera kembali mendengar kalimat yang nyaris sama.

"Berpindahlah saat hati lo mau pindah. Kalau belum mau ya jangan. Apa untungnya sih maksa diri sendiri buat ngelakuin hal yang nggak kita mau?" Sera membela, berusaha meyakini dirinya sendiri. Move on pasti akan dilakukannya, tapi bukan hari ini. Bukan saat ini. Gadis itu yakin, suatu hari nanti lukanya pasti sembuh, dengan atau tanpa berpindah sekalipun.

"Sesuatu yang dipaksakan itu pasti ujungnya nggak baik, Jev. Gue nggak mau itu. Gue pasti move on kok, tapi nanti kalo hati gue udah mau."

Jev menggeleng, tak mengerti jalan pikiran Sera yang kelewat ajaib. "Terus kalo sampe bertahun-tahun nanti hati lo masih belom mau pindah juga, gimana?"

"Nggak akan. Semua itu pasti ada limitnya, Jev."

Jev berencana akan mendebat pernyataan Sera barusan, namun sebelah tangan Sera sudah terlebih dahulu terangkat. Menahan kalimatnya yang hampir terlepas.

"Bentar, gue angkat telepon dulu." Sera merogoh saku celananya, membebaskan handphone-nya yang sejak tadi meronta dari balik saku celana.

Sera mengangkat sebelah alisnya. "Mario?" desisnya setelah melihat nama yang kini tertera di balik layar handphone-nya. "Kenapa ni orang tiba-tiba telepon?"

***

"—Juno itu masih bingung sama perasaannya sendiri, Ra." Mario kembali mengucapkan kalimat yang sudah berulang kali ia lontarkan.

"Dia bilang mau ngelepas lo, dia bilang udah nggak ada rasa lagi sama lo, tapi sejak lo angkat kaki dari Jakarta, dia nggak berhenti uring-uringan. Tu anak jadi kacau! Banyak jadwal manggung yang tiba-tiba cancel. Bahkan, secara sepihak si Juno juga bikin mini album-nya tahun ini batal rilis, gila kan?

"Lo tau tiap malem kerjaan dia pergi ke mana? Kelab! Minum sampe mau mampus! Kalo gue atau anak-anak yang lain nggak nyantronin dia, mungkin tu anak udah mampus beneran dari kemaren-kemaren.

"Apa bener-bener udah nggak ada lagi yang bisa kalian bicarain? Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar lho, Ra."

Sera tersenyum pahit, ia juga tahu lima tahun itu bukan waktu yang sebentar. Ini semua kan keputusan Juno, lantas kenapa sekarang semuanya seakan-akan salahnya?

"Ra, lo masih di sana kan?" Mario memastikan ketika Sera tak juga menanggapi pernyataan terakhirnya

Sera menarik napas panjang. Jujur saja, semua cerita Mario barusan membuat batinnya kembali tersayat. Tetapi harus bagaimana? Bukannya Juno sendiri yang memutuskan untuk menyudahi hubungannya?

"Yo, kenapa nggak lo tanya sendiri aja sana sama sobat lo? Kalau keadaannya begini ya jangan tau-tau nyalahin gue dong. Gue ini korban lho... apa lo tau gimana keadaan gue di Bali? Apa lo pikir gue seneng-seneng aja? Bahagia-bahagia aja? Setelah yang sobat lo lakuin sama gue, setelah cowok sialan itu tega-teganya bikin hancur hati gue. Gue diputusin, nggak pake alasan konkret. Pas gue lagi cinta-cintanya pula!" Sera berkata panjang lebar, berusaha mengeluarkan semua ganjalan di hatinya.

"Dan tololnya, gue masih cinta mati sama Juno, Yo. Kurang goblok apa gue?" lanjut Sera dengan volume suara selirih mungkin.

"Lo sama Juno itu sama! Sama-sama gengsi!" Mario menyimpulkan, tak sadar memancing tawa miris dari lawan bicaranya di seberang sana.

"Gue? Gengsi? Gue kurang sampah apa, Mario? Gue nyaris ngemis cintanya dia, dan lo masih berani-beraninya bilang gue gengsi?!" Emosi Sera mulai naik, tak terima dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan Mario.

"Gini deh, mending lo bilang sama dia... 'Juno, kalau kamu berani ambil keputusan, itu tandanya kamu juga harus siap sama konsekuensinya. Don't be such a boy!'" Sera berseru, kemudian secara sepihak memutus sambungan teleponnya.

Langit telah pekat ketika Sera kembali dengan langkah mengentak. Jev yang saat itu masih belum berpindah dari pesisir pantai bertanya heran, "Kenapa?"

Sera urung menjawab, tadinya gadis itu mau kembali duduk di samping Jev. Namun laut yang mulai pasang melunturkan niatnya.

"Gue butuh lebih dari sekadar pantai!" Sera berseru, tak terbantahkan.

-With or Without You-

Hi! Aku bawa paket tengah malam~

 Happy Reading!

With or Without YouWhere stories live. Discover now