DUAPULUH DELAPAN. Tunangan?

Start from the beginning
                                    

Ya Tuhan. Kenapa aku mendadak seperti ini? Berkhayal menjadi istri Althaf? Apa virus bernama ngawur tertular padaku dari Althaf? Tidak boleh, sepertinya otakku mulai kehilangan kendali.

Tapi, jujur, aku ingin menjadi pedamping hidupnya Althaf suatu hari nanti. Siapapun yang tahu ini, rahasiakan dulu dari Althaf, oke?

Baru saja aku memikirkan bocah itu. Nama bocah itu sudah tertera di layar ponselku yang menyala di atas nakas. Sedari tadi aku mengabaikannya.

Tanganku terulur untuk mengambil benda pipih itu sebelum akhirnya menempel di telingaku.

"Halo, apaan lo nelpon gue dari tadi?"

Terdengar dengusan dari seberang sana. "Jangan ngambek ih! Nanti wajah lo mirip nenek sihir yang lagi patah hati."

"Gak lucu. Gue lagi sibuk."

Pip. Aku mematikannya secara sepihak karena panggilan dari bundaku kian terdengar di balik pintu kamarku.

"Cepetan Amira, Bunda sama Ayah nungguin kamu di meja makan, ya?"

"Iya, Bunda!" sahutku sembari mengetik balasan chat Althaf yang sejak tadi hanya kuread saja.

Aku: Thaf, gue lagi ada tamu di rumah. So, stop chat gue,. Besok, kalo umur panjang kita pasti ketemu kok di zekolah.

Aku: Typo *sekolah maksudnya.

Setelah itu, aku meninggalkan ponselku begitu saja di atas kasur tanpa melihat balasan Althaf terlebih dahulu.

Di meja mekan sudah ada Ayah dan Bunda yang menungguku sedari tadi dengan piring berisikan makanan yang tertata rapi di sana. Tak lama, kursi di seberang kami sudah terisi oleh tiga orang tamu yang ditunggu-tunggu.

Cukup terkejut. Jadi, keluarganya Arga yang menjadi tamu penting kami? It's okay, karena setahuku kedua orangtuaku bersahabat dengan kedua orangtuanya Arga.

Aku hanya menyunggingkan senyumku pada orang tuanya Arga. Begitupun Arga yang duduk berseberangan denganku.

Katanya ada hal penting yang akan dibicarakan setelah makan malam. Aku tidak tahu seberapa pentingkah itu, yang aku tahu bahwa ayahku bekerja di perusahaannya ayah Arga. Aku harap sih dibalik pertemuan ini tidak ada sedikitpun hal yang menyangkut denganku.

Pertemuan yang hangat, apalagi kedua orangtuaku sudah sangat mengenal mereka. Setelah acara makan malam selesai, tibalah waktunya untuk berbincang.

"Amira, kamu sudah kenalkan sama Arga?" tanya ayahku padaku.

Aku mengangguk. "Kami sekelas."

"Syukurlah, ternyata kalian sudah saling kenal," ujar ibunya Arga sembari tersenyum hangat.

"Sebenarnya, pertemuan ini untuk membahas pertunangan kalian," jelas ayahku to the point yang langsung menimbulkan keterkejutanku.

"Apa? Tunangan? Tapi--"

"Arga, biarkan kami dulu yang membahas ini. Ajak Amira berbincang di tempat lain," sela Virendra—ayahnya Arga.

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now