Pat mengangguk. "Tentu. Silahkan. Kau habiskan juga tidak apa-apa. Oh iya duduk sini, tidak apa-apa." tambahnya seraya menepuk tempat kosong disebelahnya. Si lelaki berkacamata tersenyum sebelum duduk dengan agak kikuk. "T-thanks ya. Kau banyak sekali membantuku."

"Bukan apa-apa kok." Pat membalas, tersenyum. Hening lama berselang selagi Pat memandangi usaha keras lelaki disampingnya membersihkan bolanya memakai tisu. Tapi bola tersebut sudah terlanjur kotor dan penuh lumpur, mustahil bisa membuatnya benar-benar bersih seperti baru. Pat diam-diam merasa iba serta ingin memberitahunya bahwa usahanya sia-sia. Akan tetapi lelaki itu tampak benar-benar putus asa, membuat sebagian besar dari dirinya tidak tega. Jelas sekali ada sesuatu yang aneh pada lelaki berkacamata disebelahnya ini.

Lalu secepat itu pula ia menyadarinya, setelah menggabungkan masing-masing kejadian menjadi sebuah kesimpulan...

"Kau dibully kan?" tanyanya, memecah keheningan. "Oleh Ernest?"

Tangan lelaki itu seketika terhenti dari kesibukannya dan dia menoleh pada Pat. Sejurus kemudian, ia mengangguk sedih.

"Bola ini tadinya untuk adik sepupuku. Dia berulang tahun. Aku membelinya tadi sepulang sekolah, namun dijalan aku bertemu dengan mereka dan yah... mereka membullyku."

"Aku mengerti. Yah maafkan saja, mereka memang begitu orangnya."

"Aku selalu memaafkan mereka, tapi rasanya sia-sia. Tapi kau ada benarnya. Lebih baik aku pasrah." pun ia kembali membersihkan bola dengan tisu. Sampai disini Pat tidak bisa hanya diam saja dan mengiba. Hanya rasa iba saja tidak ada gunanya, dia tahu. "Jangan dibersihkan lagi. Tidak ada gunanya."

Lelaki berambut cokelat itu memberinya tatapan tidak mengerti.

"Beli saja yang baru. Tidak enak memberikan hadiah yang sudah rusak, kan? Apalagi pada anak kecil." Jelasnya, yang diluar dugaannya dibalas dengan tawa pahit. "Aku tidak mungkin bisa beli lagi. Ini kubeli dengan uang tabunganku dan sekarang aku tidak punya uang. Keluarga adik sepupuku itu sudah banyak membantu keluargaku, itulah mengapa aku berniat memberikannya ini."

Pat belum menyerah. Sebuah ide melintas dibenaknya tepat pada waktunya.

"Aku yang belikan, okay?"

"Apa?" tanya lelaki itu balik, kaget.

"Aku yang akan belikan. Ayo," kata Pat tenang. Dilihatnya lelaki itu hendak membuka mulut, maka ia segera menambahkan, "Dan aku tidak menerima penolakan darimu... uh, siapa namamu?"

"Greyson Chance."

"Patricia sayang," sapa Ernest dengan senyum lebar, membuyarkan lamunan Pat. "Maaf aku terlambat."

Pat terus terang tidak akan menyangka kalau lelaki itu adalah lelaki yang sama dengan si tukang bully pengganggu hidupnya dan banyak anak lain di sekolah, termasuk Greyson. Lelaki itu kini sudah sama tuanya seperti dia, mengenakan jas abu kebiruan terkancing dan celana pipa sewarna. Rambut hitamnya dipotong pendek disamping, sedangkan bagian atasnya disisir kesamping dan diminyaki hingga klimis berkilau. Dia punya kumis dan brewok di wajahnya. Satu-satunya yang tidak berubah darinya adalah mata biru cerahnya yang masih sama sedari masih di bangku sekolah.

Meski penampilannya berubah, bukan berarti Pat percaya bahwa pribadi lelaki itu pun juga berubah. Dia masih laki-laki yang sama, Ernest Gordon, ketua geng bully di angkatannya dan semua kekacauan-kekacauan yang ia buat termasuk...

Pat menghela napas. Dia harus fokus.

"Tidak apa." jawabnya pendek, kemudian Ernest duduk disebelahnya. Sebenarnya Pat merasa agak canggung berada dekat dengannya, namun lelaki itu tampak sebaliknya. Ralat, atau mungkin justru senang.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now