Tugas dan jadwal kuliah Abel pun tidak berat, dosen malah menyuruhnya fokus belajar untuk Japanese Language Proficiency Test yang akan diadakan awal Juni nanti. Bonus kerjanya juga sudah masuk ke dalam rekeningnya pagi tadi.
Abel menyandarkan punggungnya pada kursi kerja, matanya melirik kalender duduk yang berada disamping tempat alat tulis. Minggu kedua bulan Mei setelah event di Universitas Ganesha akan ada libur panjang dari hari Kamis, Abel akan menggunakannya untuk pulang ke Bandung. Kebun sayuran di rumahnya sudah bisa dipanen mulai hari ini, Abel sudah mencatat masakan apa saja yang akan ia buat dari sayuran itu.
Hidup Abel terasa indah, sangat indah bahkan. Berbeda dengan Fikri, sahabatnya yang satu itu sepertinya sedang dalam masalah. Beberapa malam belakangan Fikri selalu uring-uringan di grup Whatsapp yang berisi Abel, Vania, Fikri, dan Riky. Sedangkan Vania dia sedang sibuk mencari wedding organizer untuk pernikahannya pertengahan Juni mendatang.
Ponsel Abel bergetar di atas meja menampilkan panggilan masuk melalui Whatsapp. Abel langsung mengangkat panggilan itu, "Moshi-moshi."
"Kamu pulang jam berapa hari ini ??" suara seorang laki-laki hinggap pada pendengarannya. Abel merutuki kebiasaannya yang tak pernah melihat siapa yang menelepon sebelum menjawab, hasilnya selalu seperti ini. Abel menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat siapa yang meneleponnya.
Ardian
Tertulis jelas pada bagian atas nama penelepon.
Abel membelalakan matanya namun kembali menempelkan ponselnya pada telinga. "Aku pulang normal, jam empat. Ada apa ??"
"Pulang dari Mangdu aku jemput, ada yang mau aku omongin."
Abel terkikik geli mendengar nada bicara Ardian yang terdengar frustrasi, "Kamu mau curhat ??"
Terdengar helaan napas panjang dari Ardian, "Nope."
"Kamu emang tahu dimana kantor aku ??" tanya Abel dengan nada menggoda.
"Ngga." Jawab Ardian dengan lempeng. "Kamu tinggal kirim lokasi aja, di hp kamu masih ada Google maps nya kan ??"
"Iyalah, ngga mungkin aku uninstal !!!"
"Kata siapa ngga mungkin, bisa kok di uninstal."
Abel tiba-tiba merasa jengkel dengan ucapan Ardian, pasti ujung-ujungnya akan membahas aplikasi, kode, dan anak-anaknya. "Yaudah nanti aku kirim lokasi, udah dulu ya aku mau kerja lagi." Ardian hanya bergumam lalu mengakhiri panggilannya.
"Teleponan sama siapa, Bel ???" tanya Fikri dengan wajah kusut, kedua tangannya terlipat di atas papan pembatas kubikel.
"Dari kapan lo disitu ?!!"
"Dari zaman komputer belum ditemukan." Jawab Fikri datar, kepalanya ia jatuhkan pada lengannya yang terlipat. Matanya masih tetap melirik Abel.
Abel mencebikan bibirnya, kentara sekali sahabatnya sedang ada masalah. Tapi jawaban dari Fikri membawa sebuah pertanyaan masuk kedalam otaknya. Bagaimana jadinya jika di tahun 2015 ini komputer belum ditemukan ?? akan jadi seperti apa hidupnya ?? yang lebih penting, bagaimana jadinya kehidupan para programmer seperti Ardian.
"Client engga suka sama pendapat lo ??" Fikri menggeleng. "Lo berantem sama Risti ??" Kali ini Fikri mengangkat kepalanya lalu terdiam beberapa saat.
"Masa yang mau anniversarry berantem."
Abel tersenyum kecil, "Lo nungguin gue ngucapin selamat anniversary atau lo mau gue bantuin bikin kejutan buat anniversary kalian ??"
YOU ARE READING
My Dearest is A Programmer
General Fiction[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...
8. My Dearest is A Programmer- After One year
Start from the beginning
