8. My Dearest is A Programmer- After One year

Start from the beginning
                                        

"Ini mobil siapa ?? Kenapa Papa ngga nyuruh pindahin ?!! aku ngga bisa masuk nih."

Papa malah tertawa melihat wajah kesal dan lelah Ardian lalu dengan santai Papa melempar sebuah kunci mobil dengan gantungan sebuah dompet kulit berwarna coklat. "Pindahin sendiri, kan itu mobil kamu."

Ardian hanya memandangin kunci yang dilempar Papa, "Aku belum beli mobil pa, uang tabungan aku belum cukup."

"Coba buka STNK di dompetnya."

Ardian menurut saja, ia membuka dompet tersebut dan membaca nama yang tertera pada STNK itu. Benar, namanya yang tertulis disana bukan nama Kenan, Mama, ataupun Papa. "Serius nih ??" Ardian menatap Papa dari balik pagar.

"Serius lah, udah pindahin dulu baru nanya." Papa berjalan memasuki rumah.

Ardian tersenyum dan mendekati mobil itu kemudian memasuk ke dalamnya. Interiornya seperti apa yang ia bayangkan, tapi rasaya aneh. Ia biasa menyetir sebelah kiri, tapi kali ini ia harus menyetir sebelah kanan. Ardian memarkirkan mobilnya di seberang rumah, dekat lapangan.

Senyum tidak lepas dari wajah Ardian hingga duduk di meja makan. "Pa, Ma. thanks ya mobilnya. Padahal Ardian rencana mau beli tahun depan."

"Ngapain nunggu tahun depan, uang yang kamu kirim ke Mama udah cukup kok buat beli mobil itu." ujar Mama sambil menyiapkan sarapan dibantu Bi Imas.

"Jadi itu mobil belinya bukan pakai uang Mama sama Papa ??" kedua orang tuanya mengangguk. Setiap bulan Ardian selalu mengirim uang hasil kerja dan sisa uang beasiswanya ke Mama. Seperti yang dikatakan orang-orang, "Sekecil apapun pemberianmu, orang tuamu pasti akan merasa senang." Meskipun tidak seberapa, Ardian selalu mengirimnya pada Mama. Namun ia tidak menyangka jika uang yang ia kirim ke Mama selama hampir empat tahun bisa cukup untuk membeli sebuah mobil limited edition.

Sarapan pun di mulai. Jika makan sudah dimulai tidak akan ada suara, Ardian merindukan suasana ribut di meja makan seperti saat di Korea. Irvan dan Reiki yang paling tidak sabaran menunggu makan delivery tiba, Fandi sering berusaha menengahi perdebatan Bryan dan Stefan tentang pertandingan bola di televisi semalam, dan Ardian menjadi yang paling tenang, mata dan tangannya tetap terfokus pada laptop.

Saat makanan pesanan tiba, meja makan akan tetap ribut, anggota timnya akan mengomentari makanan yang mereka makan dan Ardian akan menjadi juri dengan mengatakan 'ya' atau 'tidak' pada argumen mereka. Meskipun menurutnya makanan itu memiliki rasa yang sama setiap kali dipesan.

"Hari ini kamu mau kemana ??" tanya Mama setelah menyelesaikan sarapannya.

"Di rumah aja kayanya, kemarin ada email masuk dari Korea, ada yang minta dibuatkan website buat restoran fast food."

"Laptop Papa ada masalah, coba kamu cek dulu terus benerin." Lanjut Mama.

Papa hanya menautkan kedua alisnya lalu menggelengkan kepalanya, "Setiap habis dipakai kerja sama Mama pasti ada aja yang rusak." Papa tidak mengerti bagaimana cara Mama menggunakan laptopnya hingga bisa rusak.

Programmer is not a PC repairman. Kata sebuah meme. Tapi tetap saja Ardian sering diminta untuk memperbaiki laptop atau komputer. Padahal dia sendiri akan meminta tukang service di Mangga Dua untuk memperbaiki laptopnya jika rusak. Ardian hanya mengerti sekilas tentang hardware, itupun hanya kode-kodenya.

Ardian mengambil smoothie yang baru saja diantarkan Bi Imas, baru saja ia hendak meninggalkan meja makan Papa menahannya. "Ada teman Papa yang nikah lusa, kamu ikut ya siapa tahu ada anak teman Papa atau anak baru yang cocok sama kamu."

"Lihat nanti aja ya pa." Ardian tersenyum kaku dan berjalan menuju kamar orang tuanya.

" Ardian tersenyum kaku dan berjalan menuju kamar orang tuanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
My Dearest is A ProgrammerWhere stories live. Discover now