[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE
Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...
Ini adalah hari ketiga Ardian di Depok, hari pertamanya ia habiskan di atas tempat tidur sambil memikirkan Abel, hari kedua ia habiskan dengan menemui keluarganya yang berada di sekitar kompleknya.
Pukul enam pagi Ardian sudah bersiap dengan selana training dan kaus berwarna biru dengan sablonan gambar coding-an. Programmer always bring code to every side of life. Ardian duduk di teras rumahnya sambil mengikat sepatu larinya.
“Mau kemana den ??” tanya Bi Imas -asisten rumah tangga di rumahnya-.
Ardian berdiri dan tersenyum, “Mau jogging keliling komplek, bi.” Ardian melakukan peregangan kecil.
“Masih inget jalannya den ??” Canda Bi Imas
“Masih dong, Bi. Yaudah aku jalan dulu, nanti siapin smoothie ya pas aku pulang.”
“Siap den.” Wanita pertengahan lima puluh tahun itu mengangkat tangannya ke atas kepala seperti sedang menghormat bendera. Ardian pun tertawa lalu berjalan meninggalkan rumahnya.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Setengah jam lebih Ardian jogging mengelilingi komplek, acara jogging paginya mengalami banyak gangguan. Hampir semua orang yang ia temui menyapanya dan mengajaknya mengobrol, menanyakan keadaannya selama di Korea. Jika ditotal mungkin hanya lima menit ia benar-benar jogging.
Ardian berbelok ke sebuah rumah tipe seratus dua puluh dengan warna krem yang mendominasi. Ardian melepaskan headset-nya dan mengetuk pintu ganda berwarna coklat muda di hadapannya. Diam-diam ia merutuki kakaknya yang tidak memasang bel di rumah besarnya itu, ia yakin jika kakaknya berada di lantai atas ketukannya tidak akan terdengar.
Ardian membuka pintu yang tidak terkunci itu, ia menepuk keningnya pelan menyadari kecerobohan kakaknya. “Gimana kalo ada maling masuk ?!!” Gerutu Ardian.
Setelah mengucapkan salam, Ardian pun masuk dan memanggil-manggil kakaknya. Lantai satu sudah selesai ia kelilingi, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ardian pun memutuskan untuk naik ke lantai atas, tanpa tedeng aling-aling Ardian membuka ruang kerja kakaknya.
Kenan terlonjat kaget dan buru-buru mengeakan kaus putih yang berada di samping laptopnya yang terbuka. “Salam dulu napa de ?!!” tanya Kenan seperti saat ia menelepon beberapa hari yang lalu.
“Gue udah ngetuk pintu bawah lima menit, ngga ada yang nyahut yaudah gue masuk.” Dengan santai Ardian mendudukan diri di sofa panjang berwarna putih gading dekat rak buku. “Lo abis ngapain ??”
Kenan mendelik tajam, “Ngga usah so polos deh, udah bangkotan juga.”
Ardian berpikir sejenak, semburat merah muncul pada wajahnya. “Astaga !!! gue gatau bang.”
Kenan memutar bola matanya bosan, adiknya yang satu itu harus berpikir dahulu sebelum mengatakan sesuatu. Semuanya harus masuk dalam logikanya. “Ada apa lo kesini ?? jangan bilang lo mau minta sarapan.” Kenan berjalan mendekati Ardian dan duduk di sampingnya.
Ardian berdecak, “Gue yakin kak Alleta belum masak. Gue mau minta kontak tempat gym yang dulu sering lo datengin.”
“Buat apa ??”
“Buat nyari ide brainstorming baru.” Jawab Ardian asal.
“Bisa lo ngga sengklek bawa-bawa kode, sehari aja.” Tekan Kenan pada dua kata terakhir.
Ardian berdecak kemudian membasahi bibirnya pelan, “Ya gue mau nge-gym lah !! biar sehat.”
Kenan menghela napas lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana boxernya, “Udah gue send ke Whatsapp lo. Padahal lo bisa Whatsapp gue buat minta kontaknya, ngapain lo repot-repot ke rumah ??” Kenan sangat tahu kebiasaan Ardian yang tak mau repot, Ardian sering mengatakan, ‘Technology made for make people life more easy.’ Semua yang Ardian lakukan serba digital, katanya lebih gampang dna lebih mudah.
“Emang ngga boleh gue main ke rumah kakak gue sendiri ??” Kenan hanya diam menunggu lanjutan ucapan Ardian. “Gue diceramahin Mama sama Papa, katanya gue harus sering keluar rumah biar kenal orang baru. Kemarin malam gue dimarahin Mama gara-gara ngerjain codingan ampe jam satu.” Ardian menghela napas. “Emang penting banget ya punya pacar ?? Mama sama Papa ngomel itu mulu dari gue pulang.”
Kenan menyilangkan tangannya di depan dada dan menyandarkan punggungnya pada sofa, “Tergantung, kan prioritas setiap orang beda-beda. Gue tanya prioritas lo sekarang apa ??”
Ardian mengusapkan telunjuk dan jempolnya pada dagu, “Prioritas gue sih bikin bisnis start up baru sama teman-teman kalo mereka udah balik ke Jakarta.”
“Terus apa lagi ??”
“Dapat beasiswa S2 ke Harvard.”
“Lo masih ngefans sama Mark ??” Ardian hanya menaik turunkan kedua alisnya sebagai jawaban. “Ya kalo emang itu prioritas lo, gue ngga masalah. Tapi sengganya lo harus kenal sama cewek, bukan apa Ar, lo liat sendiri gimana susahnya gue dulu buat nyari cewek.”
Ardian masih ingat bagaimana dulu kakaknya susah mendapatkan pacar, ia terlalu fokus pada kuliah dan mengembangkan usaha Mama. Sampai suatu hari Alleta meminta untuk dibuatkan website oleh Ardian dan berhasil bertemu dengan Kenan.
Padahal Alleta lebih dahulu mengenal Ardian dari pada Kenan, tapi Alleta lebih memilih kakaknya. Ardian selalu kagum dengan orang-orang yang bisa berpacaran hingga bertahun-tahun dan akhirnya menikah, tapi ia lebih kagum lagi pada kakaknya yang hanya berkenalan tiga bulan dan mantap untuk menikahi Alleta.
“Mungkin maksud Mama sama Papa baik, mereka ngga pengen lo terlalu fokus ke passion lo dan lupa sama kodratnya manusia yang hidup di dunia. Lo kayanya ngga tau waktu awal nikah gue sering banget berantem sama Alleta gara-gara kita yang belum mengenal kepribadian masing-masing. Lama-lama gue terbiasa sama Alleta dan Alleta terbiasa sama gue, apalagi Adara mulai hadir.”
“Mama nyuruh kamu nyari pacar biar kamu lebih kenal sama calon istri kamu. Meskipun belum tahu pacar kamu jodoh kamu atau bukan.” Ujar Alleta yang tengah berdiri diambang pintu sambil menggendong Adara. Ardian hanya diam menunggu kakak iparnya melanjutkan ceramahnya. “Kenapa kamu ngeliatin aku kaya gitu ??? aku ngga bakal ceramahin kamu kok.” Alleta duduk diantara Kenan dan Ardian.
“Kenal sama cewek boleh, bahkan harus. Tapi lo harus tau batas.” Ujar Kenan.
Ardian menganggukan kepalanya, sepertinya ia harus menambahkan ‘Mencari pacar’ ke dalam daftar kegiatannya selama di indonesia. Ardian pun bangkit dan pamit pada Kenan dan Alleta, ia harus pulang untuk mengisi perut dan mengecek email masuknya.