Chapter 2

361 19 0
                                    





Anak anak Tunas Pelita sudah pulang sejak belasan menit yang lalu. Tetapi Tania malah menarik tanganku dengan erat menuju suatu tempat.

"Sini!" desis Tania sambil menoleh ke kanan dan kiri.

Aku mengerutkan kening. Kami berakhir di depan kelas XI IPA-1 dan masuk ke dalamnya. Tentu saja itu bukan kelas kami. Kelas itu telah kosong. Tania berjalan mengendap-endap. Tanpa alasan yang jelas, aku juga turut mengikutinya dari belakang, mengendap-endap juga. Sesekali bagian bokongnya menyentuh jidatku. Tak apa Rhizoma. Tak apa. Daripada mahluk ini pindah masuk PMR.

Aku sempat berpikir, terlalu memalukan rasanya kalau diriku tertangkap basah masuk ke kelas orang seperti ini. Terlebih aku ketua ambalan Pramuka. Tidak ada alasan masuk ke kelas orang tanpa izin, kecuali kau sedang terkena hukuman dari polisi sekolah alias guru BK.

"Kita mau nyuri apa, sih?" tanyaku gemas karena sejak tadi aku bertanya, Tania tidak memberikan alasan yang jelas. Remang-remang. Tanpa penjelasan.

"Nyuri hati," desis Tania.

Aku mengernyit tak mengerti. Walaupun begitu, aku tetap mengikuti langkah Tania.

Kami tiba di sebuah meja. Meja itu biasa. Sama seperti meja lain yang terlihat berderet-deret dari depan sampai ke belakang. Tetapi Tania mendekati meja itu, mengelusnya, menciuminya, meletakkan pipinya di sana, dan juga mengendus-endus kursi penuh dengan nafsu. Aku mual. Ya Tuhan! Aku betul-betul mual. Kau sedang apa bayi Dajjal?

"Lo keseurupan jin apa?"

"Ini meja Dixie," ucapnya dengan mata terpejam seperti menikmati aroma bekas Dixie.

Aku membayangkan wajah Dixie. Manusia pahatan itu telah bergabung di organisasi sebelah. Terlalu mengecewakan. Terlalu memuakkan. Yang berhubungan dengan organsasi sebelah pantasnya dibuang saja ke Palung Mariana. Tidak perlu diingat. Tidak perlu dikenang.

"Terus lo ngapain?"

"Lo nggak lihat wajah ganteng itu tadi? Ya, nggak dapat orangnya minimal bekas keringatnya. Bekas aroma tubuhnya yang sexy."

"Bekas aroma kentutnya."

"Kentut Dixie bau nggak ya?"

"Ya bau lah. Kentut personil BTS yang terkenal aja bau. Apalagi dia, cuma rakyat jelata."

"Walau bau juga, gue tetap kuat mencium aroma kentut Dixie. Mungkin bau bagi orang tapi bagi gue kentutnya kesedapan syurgawi rasa melon. Hmmm... Harum." Tania mengelus-elus kursi Dixie. "Masih anget, loh."

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat temanku, oh tidak, dia tidak lagi temanku. Aku sungguh semakin percaya kalau Tania ini sejak dilahirkan sudah dibesarkan oleh Dajjal.

Tania menarik tangannya dan menciumnya."Hmm... harum."

"Istighfar lo. Nyebut. Kalo aja lo bukan anggota Pramuka. Udah gue tendang lo ke Palung Mariana."

"Kalo ditendang bareng Dixie gue mau sih. Sekalipun ke kerak neraka paling dalam." Tania terkikik. Ia meraba-raba laci Dixie. Dan di sana tampak Tania menemukan robekan kertas. Secarik kertas itu penuh coretan tak jelas. Kelihatannya ada gambar muka Naruto lagi kesetanan. Lalu ada tulisan-tulisan yang kelihatannya tidak penting. Semrawut seperti suasana hatiku yang kehilangannya. Andai saja dia gabung Pramuka. Pasti adik-adik kelas akan antre sembako buat bergabung dengan kami.

"Duh, tulisannya nggak kalah ganteng sama orangnya." Tania memeluk erat kertas itu.

Aku justru melihat tulisan bak cacing kepanasan. Kurebut kertas yang berada di tangan Tania.

DIXIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang