Chapter 1

692 21 5
                                    

Kamu telah tiba di daun pintu cerita yang kami sajikan di restoran kami. Selamat bersenang-senang....


Sekolah Tunas Pelita yang berada di ujung kota itu sejak kemarin terlihat biasa. Terlalu biasa malah. Harga mie instan dan gorengan di kantin Pak Ujang masih biasa. Guru BK masih biasa berkeliaran mencari mangsa di penjuru sekolah. Pak Satpam masih biasa membaca koran yang isinya berita hantu dan cerita-cerita orang dewasa. Semua tampak biasa, kecuali dia. Ya, dia. Sejak kedatangannya, sekolah seperti terkena dentuman Meteor Orinoid. Terlalu kuat seperti namanya. Lima huruf. Hanya lima huruf. D-I-X-I-E.

"Namanya Dixie. Wajahnya dipahat seperti patung," seru Tania bersemangat berusaha mengiringi langkahku. "Dan bibirnya menjulang."

"Bawa gue ke sana sekarang!" Timpalku gemas didera rasa penasaran.

"Ke sana mana? Ke ruang BK?" Tania malah memasang wajah polos. Sebelum membahas topik manusia dipahat, kami memang membicarakan Sherina yang tertangkap basah menuju ruang BK. Tentang Sherina, nanti akan kuceritakan lebih lanjut.

"Bawa gue ke kelas si murid baru itu. Gue mau ngajak dia masuk Pramuka."

Mata Tania memumatar-mutar. "Ehm, jangan sentuh suamiku itu. Jangan gunakan kekuasaan lo untuk menggelabuinya... " Belum selesai Tania menyelesaikan kalimatnya, mata kami memicing saat betina-betina di sekolah ini sedang mengerumuni seseorang yang astaga... wajahnya memang dipahat sempurna seperti patung karya Mas Michelangelo. Sosok itu tinggi menjulang mengalahkan tinggi semua siswa di sana. Mungkin tingginya itu setinggi mantanku yang sedang cari duit di Korea, Mas Rowoon.

"Gimana? Hot kan? Lebih hot daripada gorengan Pak Ujang, kan?" Tania menyikut lenganku ketika aku justru terpana. "Ehm, di dunia sebelumnya, mungkin kami sepasang suami istri." Aku melirik Tania, ia memutar-mutar jari jemarinya dengan manja. Ia memang sering tertarik dengan cerita reinkarnasi dan mempercayai kalau ia telah dilahirkan kembali, padahal dulunya dia adalah Ratu Korea di zaman Dinasti Joseon.

"Sepasang kodok di tengah sawah juga nggak masalah bagi gue. Yang penting dia masuk Pramuka!" tungkasku tidak peduli.

Aku memperhatikan si wajah pahatan itu. Sosok itu punya rahang yang tegas dan tampak sedang memeluk sebuah gitar yang kelihatannya mahal. Aku tidak tahu menahu soal gitar, tapi aku tahu itu gitar mahal. Ia memetik gitar itu seadanya. Tanpa nada dan tanpa cinta barangkali. Mungkin berusaha mengusir orang-orang di sana. Tetapi, mereka, maksudku siswa-siswa perempuan itu semakin mendekatinya dan mungkin mengendus-endus aroma keringatnya.

"Gitar aja dipeluk, apalagi gue," Tania yang masih berdiri di dekatku tidak tahan untuk tidak berhalusinasi lagi. "Gue ingin foto dia, ah! Terus kirim ke Bikini Bottom, supaya mahluk di sana tahu ada yang lebih enak dan lebih geboy daripada krabby patty."

Seperti yang kubilang, sebenarnya, aku sangat peduli seperti apa sosok siswa baru itu. Mengingat visual banyak berpengaruh pada kehidupan sosial sekarang. Obat nyamuk sekalipun akan ada yang beli kalau yang menjualnya adalah Mas Nam Joo Hyuk. Baiklah! Sejak aku dilantik jadi ketua ambalan putri Pramuka di sekolah ini, aku harus mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya. Konon organisasi sebelah sudah berhasil merekrut ratusan anggota. Dan kalau boleh jujur, jumlah itu tidak sebanding dengan anggota Pramuka kami yang hanya bisa dihitung puluhan jari. Dari segi visual untuk promosi, si wajah pahatan itu cukup menjual. Aku yakin seribu persen.

Kalau saja Mas Nam Joo Hyuk ikut bergabung Pramuka, pasti Pramuka kami akan membludak sampai ke ujung parkir sekolah.

"Ini tidak bisa dibiarkan," ujarku dengan suara rendah.

DIXIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang