Pada hari pertama pula dia bertemu Vania, senior dibagian AE. Usianya berbeda empat tahun dengan Abel, setahun lebih muda dari Putri. Vania memberikan berbagai masukan dan semangat pada Abel, mereka pun berteman akrab sejak saat itu, ia pun tidak lagi memanggil Vania dengan sebutan kakak seperti saat pertama masuk.
Sebuah mobil Mitsubishi Pajero Sport berwarna hitam terparkir di depan pagar rumah Abel, disusul sebuah pesan masuk pada Line-nya.
Vania : "Gue udah di depan rumah lo pake mobil hitam, cepet keluar."
Abel membaca ulang pesan itu, terakhir Abel ingat kemarin sore Vania masih menggunakan mobil Suzuki Ertiga putih kesayangannya. Abel pun membereskan tasnya, khusus hari ini ia tidak membawa ransel. Setelah bertemu dengan client, ia akan langsung ke kampus untuk mengurus beasiswanya ke Jepang.
Setelah yakin pagarnya terkunci, Abel pun masuk ke dalam mobil dan memasukan kunci ke dalam tas. "Perasaan kemarin lo masih pake mobil yang putih, kok sekarang pake mobil beginian ??"
Vania tersenyum lalu menyalakan mobil, "Riky tadi ke rumah, terus gue minta kunci mobilnya, lumayan lah nyobain mobil baru." Vania dan Abel pun memasang seatbelt, "Udah siap ??" Abel pun mengangguk dan Vania mulai menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Abel.
Vania memutar lagu-lagu favoritnya seperti Colplay, Adele, Jason Derulo, Ed Sheeran, The Script, One Direction... sampai sebuah intro membuat Abel menghentikan kegiatan mengecek email ponselnya.
Geu gin bami neol ttara heulleoman ganeun geot gata
I sigani neol ttara heuryrojineun geot gata
Wae meoreojyeo ga why ni nunen deo isang naega boiji anhni uh
Abel mengerjapkan matanya beberapa kali lalu mengusap kedua telinganya bergantian, "Van, lo baik-baik aja kan ??"
Tak ada jawaban dari Vania, ia malah bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar, "Tell me why ni nunen deo isang naega boiji anhni uh..."
"Vania Larasati Putri !!!"
"Eh apa Bel ??" tanya Vania sambil mulai memelankan laju mobilnya saat mendekati lampu merah.
"Hell, hontou desu ka, Vania ?!!" pekik Abel sambil mengerjapkan matanya, "Dari tadi playlist lo lagu barat semua, kok tiba-tiba lagu oppa-oppa Korea sih ?? lo mau selingkuh dari si Harry Styles ??" Selama mengenal Vania, Abel tahu jika sahabatnya yang satu itu seorang Directioners dan Stylator. Semua playlist ponsel dan laptopnya berisi lagu-lagu barat dan One Direction, bahkan ia menghabiskan hampir seluruh gajinya bulan lalu untuk menonton konser One Direction yang diadakan di Jakarta beberpa waktu yang lalu.
Vania tergelak sambil mengusap setir, "Gue masih tunangannya si Harry kok, tapi masa iya gue mau biarin aja senyum gigi kelincinya Jungkook ??? sayang banget lho say."
Abel hanya melongo mendengar penjelasan -yang menurut Abel- tidak logis dari bibir Vania. "Say, terserah apapun perubahan lo yang pasti lo harus bawa gue salamat ampe ketemu client. Kalo bisa lo stop lagu ini, jangan sampai gue keingetan lagi kalo Ardian masih di Korea bareng oppa Jungkook kesayangan lo."
Vania menaikan alisnya sambil melanjutkan menyetir, "Lah katanya mau belajar lupain dia, tapi kok malah disebut-sebut ??" tanya Vania dengan nada menggoda. Meskipun belum pernah bertemu dengan Ardian tapi setiap mendengarkan cerita Abel, ia dapat menyimpulkan jika Ardian adalah lelaki yang baik. Meskipun baik tetap kepastian menjadi prioritas bagi Vania, Ardian tidak akan menjadi laki-laki baik jika tidak memberikan hubungan yang lebih jelas pada sahabatnya.
"Lo sendiri yang muterin playlist begituan."
"Okay deh gue minta maaf, jangan cemberut gitu dong. By the way besok lo mau lembur ?? besok sabtu loh say, harusnya lo jalan-jalan atau apa gitu. Lo belum dua puluh tahun loh, harusnya lo nikamati umur lo itu."
"Gue menikmati hidup gue kok, meskipun lebih cape sama lebih sibuk dari bayangan gue pas masih sekolah dulu. Gue dua puluh tahun loh akhir tahun ini, inget ?!!" Vania hanya menganggukan kepalanya, setelah itu obrolan mereka dengan obrolan ringan mengenai sinetron yang sedang naik ranting beberapa hari belakangan.
Setelah lebih dari setengah jam berkendara mereka pun tiba disebuah coffee shop di daerah Senayan City. Abel turun terlebih dahulu dari mobil dan mencari tempat duduk di sudut dekat bar. Abel langsung mengeluarkan tabletnya mempersiapkan presentasinya.
Beberapa menit kemudian datang seorang lelaki bertubuh agak gempal mengenakan jas kantoran, Vania pun langsung berdiri. "Selamat pagi Bapak Bayu." Sapa Vania sambil menjabat tangan lelaki yang berdiri di samping kursi Abel.
Abel mengalihkan perhatian dari tablet yang sejak tadi dia otak-atik, "Om Bayu ?!!"
Lelaki yang dipanggil Om Bayu oleh Abel pun hanya tersenyum lalu duduk di kursi yang masih kosong. "Apa kabar, Abel cantik ??"
Abel tersenyum antusias, "Aku baik Om, Om sendiri gimana ??"
"Om baik kok, kamu udah ketemu Bagas ?? katanya dia udah ngirim email sama kamu ??"
"Belum Om, mungkin nanti kalo kosong aku bisa ketemu sama Bagas."
Vania kembali duduk dia merasa asing dengan percakapan mereka, ia pun berdeham kecil untuk mengembalikan perhatian kedaua orang tersebut. "Jadi pak Bayu, saya Vania yang akan menjadi AE project iklan bapak kali ini, dan Abel yang akan menjadi copy writer-nya."
"Oh jadi kamu yang jadi copy writer-nya ?? maafin om ya udah nyusahin kamu." Ujar Om Bayu dengan nada menyesal yang kentara.
"Baiklah bisa kita mulai meetingnya, sepertinya lebih cepat lebih baik. Karena copy writer kita ini masih harus pergi ke kampus beberapa jam lagi." Ujar Vania tanpa mengurangi kesopanannya.
Om Bayu menyandarkan punggung pada sandaran kursi dan mulai mendengarkan penjelasan dari Vania dan Abel dengan saksama. Satu jam kemudian meeting mereka selesai dan project iklan mereka akan dimulai awal bulan Mei nanti. Om Bayu menghilang dalam waktu sekejap setelah kontrak mereka ditanda tangani, sedangkan Abel dan Vania memilih untuk membereskan peralatan kerja sambil menunggu jam makan siang.
"Lo kenal sama Pak Bayu ??" tanya Vania setelah selesai memasukan seluruh alat perangnya ke dalam tas.
"Ya gitu deh dia udah kaya abah gue yang kedua."
"Ceritain dong..." ujar Vania dengan tatapan menggoda.
"Okay... okay... jadi abah gue sama om Bayu itu sudah berteman entah dari zaman apa. Pas SMP gue, ambu, sama Daniel pindahkan ke Kota Bandung, gue tinggal di samping rumah kelurganya. Gue juga jadi akrab sama anaknya yang seumuran sama gue, namanya Bagas. Tapi kalo dilihat dari silsilah keluarga, Om Bayu masih ada hubungan darah sama keluarga gue."
"Terus... terus gimana ??" tanya Vania dengan antusias.
"Lo kepo banget deh..."
"Hayolah gue penasaran sama si Bagas-Bagas itu, gue yakin lo pasti ada hubungan spesial sama dia. Soalnya selama ini lo ngga pernah deket sama cowok manapun selain Fikri, Ardian, sama kakak lo yang suka fotografi itu." Vania berpikir sejenak. "Ah si Rezvan."
Abel menghela napas, "Ardian lagi." Abel berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. " Lo ngga salah nebak sih, dulu gue deket banget sama Bagas. Pas kelas tiga SMP gue jadian ama dia, pas semster pertama SMA kita putus dan dia pindah ke Jakarta. Tapi gue keburu lost contact sama dia jadi pas ke Jakarta gue tetep sendirian."
"Emang lo ngga ngontak Om Bayu dari Abah lo atau gimana gitu ??"
"Boro-boro inget ngontak, gue kan sibuk, pulang ke Bandung aja susah."
"Gue ngerti, dah ah ceritanya, gue lapar. Lo mau makan apa ??"
"Lo mau neraktir gue ??" sambar Abel.
"Koala sarap !!! bayar sendirilah, pesennya barengan."
"Euh dasar !! yaudah samain aja sama lo, jangan lama-lama dua jam lagi gue harus ketemu dosen."
"Iya-iya bawel." Vania pun memanggil waitress untuk mencatat pesanannya.
TBC
YOU ARE READING
My Dearest is A Programmer
General Fiction[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...
4. My Dearest is A Programmer - Work it
Start from the beginning
