💭 Prolog

Mulai dari awal
                                    

"Heh, jangan ikut campur sama urusan kita. Lo mau jadi yang kedua?"

"Sebenernya gue males ikut campur sama urusan kalian, cuman ini demi kebaikan kalian juga. Gadis ini punya penyakit mematikan. Ayah gue yang ngrawat dia." Zana melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar keempat pria tadi mendekat.

Bodohnya mereka benar-benar mendekat. Semoga cerita bualan ini akan berhasil.

"Terakhir kali, temen gue masuk rumah sakit gara-gara makan sepiring sama dia. Bayangin aja kalo kalian nglakuin sesuatu yang... gitulah. Gue yakin kalian nggak cuma ada di rumah sakit, tapi langsung dikirim ke kuburan."

Mereka membulatkan mata. Ekspresinya mulai kebingungan. Sedangkan Zana menahan agar tidak tersenyum geli.

"Gimana, nih?"

"Lah, gue nggak tau!"

"Mending cabut aja dah. Gue ogah mati duluan,"

Hanya satu pria yang masih menatap Zana dengan curiga. "Lo pikir kita percaya sama omongan bocah kaya lo?"

Zana menggedikan bahu. "Terserah. Lagian gue juga masih waras buat nggak nekat nyamperin kalian," Zana menarik napasnya dalam-dalam, "Ini. Demi. Kebaikan. Kalian." ujarnya menekankan setiap kata.

Nampaknya mereka mulai percaya dengan bualan Zana. Ia melirik sekilas gadis yang sedang menangis sesenggukan.

"Cabut aja lah."

"Lo kalo masih mau di sini, gue tinggal. Terserah, Jon." Satu dari mereka berjalan keluar dari gang. Segitu sayangnya dengan nyawa.

Zana tiba-tiba terbatuk keras. "Maaf. Mungkin ini efek keseringan deket dia—" Zana terbatuk lagi. Matanya was-was melirik tiga pria yang masih berdiri di hadapannya.

"Kita juga deh. Ayo, Tur!"

"Iya, gue juga. Cus cabut aja lah."

Tinggalah satu orang. Pria yang sejak tadi menatap Zana intens. Zana pikir, diantara mereka hanya satu saja yang masih cerdas. Nyatanya tiga dari mereka sudah kabur begitu saja.

"Silahkan bang kalo lo mau lanjutin. Gue pastiin besok nama lo udah nempel di nisan," Zana tersenyum simpul, "Gue bakal jadi orang pertama yang dateng ke makam."

Pria itu menajamkan matanya. "Awas aja lo ngibul."

Zana menghela napas lega saat gang kecil tersisa dirinya dengan gadis remaja tadi. Ia pun menghampiri gadis yang tengah menangis sesenggukan.

"Kamu nggak perlu takut. Mereka udah kakak usir." Zana menghapus air mata yang mengalir di pipi gadis remaja itu.

Gadis itu masih sesenggukan. "A-aku takut...." Zana menariknya ke dalam pelukan, "Tadi aku diseret paksa ke sini. Aku takut banget."

"Lain kali jaga diri, ya. Untung kakak datengnya tepat waktu." Zana melepas kardigan biru miliknya dan memakaikan di tubuh remaja itu. Bisa jadi pertanyaan banyak orang jika melihat kondisinya sekarang.

Perlahan tangis gadis itu mereda. Lega luar biasa karena akhirnya selamat. Sebelumnya ia pikir orang yang menolongnya akan ikut jadi korban. "Makasih banyak, Kak."

Zana menarik gadis itu agar berdiri. Ia membawanya keluar dari gang. Sepertinya hari ini sepotong kebab harus ia relakan.

"Kamu malem-malem gini sendiri aja?"

"Enggak, Kak. Aku sama abang, tapi dia lagi isi bensin."

Zana mengangguk. "Kamu duduk di sini dulu. Jangan kemana-mana biar aman. Kakak udah ditunggu orang tua di sana."

Zana membawa gadis remaja itu duduk di depan sebuah kafe— berantisipasi seandainya preman itu datang maka akan ada banyak orang yang menyaksikan.

Gadis itu mengangguk pelan. "Iya, Kak."

Setelahnya Zana berjalan menjauh dari gadis remaja tadi. Bibirnya tersenyum kecil. Mungkin malam ini Zana akan tidur nyenyak karena hatinya lega luar biasa setelah menolong seseorang.

Zana makin melebarkan senyum ketika melihat banyak anak kecil sedang berbaris untuk menyebrang jalanan. Dia mendekat ke arah mereka sekedar ikut menyebrang. Padahal sebenarnya mereka sudah dikawal.

Tapi mendadak waktu terasa melambat. Ia mendengar sebuah teriakan dari banyak orang sebelum tubuhnya terpental dan tergeletak begitu saja di tanah. Zana merasa penglihatannya mulai kabur. Namun, ia sempat melihat beberapa manusia mengelilingi tubuhnya.

 Namun, ia sempat melihat beberapa manusia mengelilingi tubuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jalanan seketika ramai. Baru saja sebuah truk besar menyebabkan banyak nyawa terenggut. Insiden yang nantinya akan tercetak di surat kabar.

Sementara gadis tadi kembali menangis. Ia hendak mengampiri kerumunan itu sebelum sebuah tangan menariknya dengan kasar.

"Kamu mau ngapain?!"

"Bang, i-itu ada kecelakaan. Kakak tadi—"

"Udah kita pulang aja. Kamu jangan ikut campur."

Si gadis masih menangis. Ia menatap nanar kerumunan di belakangnya.

To Be Continued 💭

Author Note :
Gue hobi banget perasaan bikin cerita begini :(

HAI READERS GEMESKU!

Kangen sama Author nggak?! Heheheh apaan sih thor.. sok asik amat :(
Jadi ini cerita kedua gue setelah DEWA udah tamat :)
Kenapa judulnya SELF INJURLOVE?
Belum bisa gue kasih tau, tunggu sampe chapternya yang ngejelasin sendiri HEHEHHE

Ohiya, mulai sekarang kalian jangan panggil gue Ka Wawa atau Author atau Thor atau Salwa.
Panggil gue MOM aja heheheh, soalnya di sekolah atau dimana-mana gue suka dipanggil MOM gitu :b jadi panggilan kalian ke gue MOM aja ya biar akrab ;)

See you

Salam aziq, Mom.

Self Injurlove ( terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang