01 | Pertemuan

26.7K 1.8K 108
                                    

Embusan angin kencang yang menusuk tengkuknya, tidak sanggup mengusik cowok itu. Rain membenarkan letak kaca matanya dan kembali terpaku pada buku di tangannya. Terkadang, bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat kedua matanya menangkap kalimat-kalimat puitis nan romantis di beberapa halaman berwarna putih gading tersebut.

Katakanlah ia nerd karena lebih memilih untuk membaca buku dibanding memanfaatkan jam istirahatnya dengan mengisi perut di kantin, seperti yang murid lain lakukan. Tidak masalah. Toh, Rain tidak pernah peduli apa kata orang.

Sebagian besar orang mengenalnya, tapi tidak dengan Rain. Ia bahkan tidak tahu beberapa nama teman sekelasnya. Rain (read: ra-yin) terbilang cowok populer di SMA Paradipta. Selain terkenal cuek dan asyik dengan dunianya sendiri, Rain memiliki otak yang cukup encer. Bonusnya, wajahnya itu cakep-cakep imut dan didukung oleh tubuh tinggi menjulang.

Minusnya, Rain itu anti sosial! Cowok itu hampir tidak pernah "ngomong" kalau tidak dipancing. Bahkan dengan kedua sahabatnya pun ia enggan memulai percakapan.

Rain tersenyum geli membaca quotes yang tertera di akhir bab pertengahan. Baru jemarinya akan membalik lembar selanjutnya, sudut mata Rain menangkap sesuatu yang mengusik ketenangannya.

Dari posisinya—yang tengah duduk di bangku halaman belakang sekolah—Rain bisa melihat dengan jelas seorang cewek yang tengah bersandar pada pilar gedung dengan sebelah tangan menggenggam tangkai pel. Anak-anak rambut di kening cewek itu basah oleh keringat. Belum lagi rok abu-abu selutut yang kini memiliki motif abstrak, alias basah di mana-mana.

Namun, bukan itu yang membuat Rain gugup. Tapi tatapan cewek itu. Sepasang mata berwarna gelap yang tidak lepas dari...

Novelnya?

Rain mengernyit begitu ia yakin jika tatapan cewek itu bukanlah mengarah padanya, tapi pada novel di tangannya. Ia lantas berdecak kecil. Salahkah jika cowok membaca novel?!

Ia tahu. Memang tidak sedikit orang yang memandang sebelah mata cowok yang gemar membaca novel. Apalagi novel roman. Geez! Memangnya cowok tidak punya emosi?

Kesal karena pandangan cewek itu tidak kunjung luput dari novel di tangannya, Rain lekas menutup novelnya dan berlalu.

***

Ini bukan pertama kalinya ia melihat cowok itu membaca novel milik pengarang yang sama. To be honest, hari ini juga bukan pertama kalinya Revi dihukum dengan bentuk hukuman yang sama. Jadi, Revi lumayan sering melihat cowok itu membaca novel di halaman belakang sekolah.

Kegiatan cowok itu telah Revi ketahui sejak lama, tapi ia tidak pernah mengindahkannya. Hanya saja, akhir-akhir ini ia merasa tertarik. Terlebih karena novel-novel yang dipilih cowok itu.

Sadar jika perbuatannya membuat cowok itu—lagi-lagi—merasa terusik, Revi lantas membenarkan posisinya dan membuang pandangan. Namun, tidak sampai beberapa menit, kedua matanya kembali gatal untuk mengintip cowok itu. Dan benar saja, cowok itu sudah kembali tenggelam dalam cerita dan tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila.

Mau tidak mau, Revi penasaran. Apa sih yang dituangkan dalam novel itu hingga sang pembaca tersenyum-senyum?

Tanpa berpikir ulang, Revi melangkah menghampiri cowok itu dengan membawa serta sapu ijuk di tangannya.

Masih tidak menyadari keberadaan Revi, cowok itu tersenyum geli membaca sebait lelucon yang terlampir di novel tersebut. Sampai sesuatu mengetuk-ngetuk novelnya, membuat senyum cowok itu menguap.

"Novel apa ini?" tanya Revi tanpa basa-basi. Ujung tangkai sapu di tangannyalah yang ia gunakan untuk mengetuk-ngetuk novel milik cowok itu tadi. Tidak sopan memang, tapi masa bodoh.

"Nggak bisa baca?"

Revi tertegun sejenak mendengar jawaban yang diterimanya bernada sangat ketus. Alih-alih ia berkilah dan membela dirinya, Revi justru mendaratkan pantatnya dengan santai di samping cowok itu dan mengambil alih novel tersebut.

Tindakan tiba-tiba Revi membuat cowok itu terkejut tanpa sempat melarangnya. "Pelan-pelan. Nanti robek!"

Revi mencibir. "Berapa sih harganya, nanti gue ganti!"

Cowok itu berdecak. "Bukan masalah harga."

"Terus?" Revi mengangkat satu alisnya.

Cowok itu terdiam. Rain juga tidak tahu alasannya. Hanya saja, ia tidak suka jika orang lain membuat novelnya kotor, lecak, atau bahkan robek.

Tidak menanggapi keheningan yang tercipta, Revi membuka novel di tangannya dengan kening mengernyit. "Novel romance, ya?"

"Terus kenapa?"

Revi berjengit hingga badannya sedikit condong ke belakang. "Kok sewot? Santai. Gue juga suka cerita yang cheesy."

"Kalau suka ya beli."

Bukannya tersinggung, Revi justru terkekeh. "Nggak ada duit. Novel sekarang mahal-mahal, gils. Uang jajan gue aja nggak sampai lima puluh ribu, itu juga udah termasuk ongkos bolak-balik. Sementara novel-novel sekarang jarang yang ada di bawah lima puluh ribu."

Mau tidak mau, Rain, cowok itu menyetujuinya. Novel-novel sekarang memang mahal. Berbeda dengan novel-novel jaman dulu. "Tapi itu, kan, termasuk novel lama," ujarnya seraya menunjuk novel di pangkuan Revi. "Buku pertamanya aja terbit pas gue masih SMP kalau nggak salah."

"Oh ya?"

Rain mengangguk. "Dan yang itu udah cetakan ketiga. Plus cover baru."

"Jadi sama aja dong? Harganya pasti nggak jauh beda sama novel-novel sekarang. Mana tebal banget pula nih buku."

"Iya sih. Tapi itu masih mending. Katanya, buku ketiganya bakal lebih tebal lagi, jadi udah pasti lebih mahal," jelas Rain.

"Serius?" tanya Revi antusias. "Jadi ini semacam trilogi gitu?"

"Iya."

"Yang gue bingung, kok udah cetak cover baru tapi buku ketiganya belum terbit?"

Rain mengangkat bahu. "Nggak ngerti. Mungkin karena penulisnya lagi mandek? Tapi berhubung banyak peminatnya, jadi buku ini dicetak lagi dengan cover yang lebih fresh," jawabnya, asal.

"Emang lo nggak bosan baca series yang isinya melulu tentang roman?" tanya Revi, penasaran.

Rain menggeleng. "Di novel ini bukan melulu cerita tentang kisah cinta sepasang manusia, kok. Tapi juga nyeritain tentang cinta dari keluarga, sahabat, dan perjuangan melawan konflik yang bikin para pembacanya kebawa emosi."

"Termasuk elo?" tanya Revi lantas ber-"oh" ria saat Rain mengangguk. "Pantas senyum-senyum sendiri tadi."

Katakanlah Revi keliru. Tapi masa sih matanya yang tidak rabun sama sekali itu bisa salah lihat? Revi berani sumpah. Ia melihat kedua pipi cowok itu merona. How cute!

Revi berdeham kecil. "Jadi, ini bukan murni roman? Terus ini novel dewasa?"

Rain lantas mendelik mendengarnya. "Bukanlah! Masa bawa-bawa novel nggak beradab ke sekolah?!"

"Gue nggak bilang ini novel nggak beradab, kok! Lo aja yang pikirannya kotor," elak Revi, membuat cewek itu kembali melihat rona merah muda di kedua pipi Rain. "Gue cuma tanya, ini novel diperuntukkan buat kalangan apa? Kalau remaja sampai dewasa, lebih masuk ke Fiksi Umum."

Rain menggeleng. "Itu kisah remaja kok. Ceweknya anak SMA, cowoknya anak kuliahan semester awal," ujarnya lantas mengangkat bahu. "Gue juga masih bingung sama genre-genre gitu. Yang gue tau, kalau cerita Vampir pasti genre-nya Fantasy."

Revi hanya manggut-manggut dengan bibir terkulum, menahan tawa.

Baru Revi akan kembali membuka mulut, cewek itu dikejutkan dengan pekikan yang akhir-akhir ini terdengar familier di telinganya.

"REVINA! HUKUMAN KAMU BERTAMBAH!"

🌈

Created: 2018
Reposted: 2023

Warna Untuk Pelangi [✓]Where stories live. Discover now