18 || Sakit Hati?

Start from the beginning
                                    

"Selamat pagi, Tuan? Anda memanggil saya?"

Pria berkacama hitam itu menoleh dengan senyuman yang sangat Ruby kenal. "Hai."

Ruby sempat terkejut, tapi ia dengan cepat menormalkan raut wajahnya menjadi ramah kembali. "Chandra," ucap Ruby tertahan. Pikirnya untuk apa Pria itu ke sini?

Chandra tersenyum sinis memandang Ruby dari atas sampai bawah lalu ke atas lagi. Pandangan jijik itu terlihat jelas saat melihat Ruby dengan pakaian koki. "Apa-apaan ini, Rubs?"

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Ruby was-was. Seorang Chandra tidak akan membuang waktunya untuk hal yang tidak berguna dengan datang ke restoran ini.

"Mencarimu."

Benar saja.

"Aku sedang---

Chandra memotong perkataan Ruby dengan cepat. "Biasanya butuh berapa hari untuk kau menyelesaikan tugasmu itu?"

Ruby menutup bibirnya rapat-rapat dan melirik sekitar sekilas. Ia takut ada yang mendengar perkataan Chandra. "Aku sedang berusaha."

"Biasanya dua hari." Chandra tidak memedulikan perkataan Ruby. "Kau terlalu sibuk di sini ternyata, ya?"

"Chandra---

Lagi-lagi perkataan Ruby terputus saat Chandra memotongnya cepat. "Besok. Atau aku akan turun tangan." Pria itu bangkit dan pergi begitu saja. Memang seperti itu Chandra, seenaknya dan sok berkuasa atas segala hal. Tahu begitu Ruby tidak akan pernah sudi untuk bekerja sama dengan seseorang seperti Chandra.

Ruby melangkahkan kaki menuju toilet dan membasuhkan air sebanyak yang ia bisa pada wajahnya. Pikirannya terlalu buntu sekarang, ia pikir seseorang seperti Bruna bukanlah gadis biasa yang bisa dibunuh besok. Mengingat dirinya yang berada di ambang pintu tanpa mengingat apa pun dan Bruna yang sudah tidak ada di rumahnya.

Ceklek!

Pintu toilet terbuka. Ruby sama sekali tidak mau memerhatikan atau sekedar ingin tahu siapa yang masuk. Yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya menunda pembunuhan itu tanpa Chandra harus marah.

"Berhentilah dari sini. Kau tidak akan bisa mendapatkan Safirku."

Sedikit tidak masuk akal memang. Tapi Ruby yakin sekali itu terdengar seperti suara orang yang memang ingin Ruby cekik sejak lama. Ruby mengarahkan kepalanya sehingga dapat ia lihat Intan dalam refleksi cermin yang sama dengan dirinya. Ia memutar bola matanya. Gadis alay itu lagi!

"Berhentilah menjadi jalang di Restoran ini. Ini Restoran bukan club!"

Yang bilang ini club siapa? sungut Ruby dalam hati, lantas tersenyum mengejek dan melirik Intan sekilas. "Aku sudah memulainya. Tidak mungkin aku hentikan secepat itu."

"Kau melawanku?" tanya Intan sedikit menahan teriakannya.

"Seperti yang kau lihat. Lagipula jika dilihat sepertinya kau bukan tandinganku. Aku lebih cantik darimu makanya kau takut Safir jatuh cinta padaku, bukan?" Ruby menantang. Dengan wajahnya yang ia miringkan menatap Intan bosan.

Napas Intan memburu. Tangannya dengan cekatan melempar botol sabun di sebelahnya dan melemparkan pada kaca toilet sehingga kaca itu pecah berantakan. Beberapa puing tajam itu sempat melewati leher Ruby menimbulkan robek pada kulit mulusnya. Ruby mundur sedikit karena terkejut atas kenyataan bahwa ada wanita yang lebih gila di belahan dunia ini selain dirinya.

Intan tidak peduli. Ia tersenyum senang, tangannya meraih pecahan kaca itu dan perlahan mulai melukai pipinya sendiri.

Ruby hanya diam. Ia sama sekali tidak ada niat menolong Intan yang seperti orang tidak waras. Sampai akhirnya pintu terbuka kencang menampilkan sosok Safir dengan pandangan khawatir.

"Intan? Apa yang---

Perkataan Safir terputus tiba-tiba saat melihat kaca yang pecah berceceran di mana-mana. Ia menatap Intan dan Ruby bergantian dengan tatapan bertanya.

Intan tersenyum lebar. Ia tahu Safir akan datang saat mendengar keributan ini. Karena sebelumnya wanita itu sudah memberitahu Safir ke mana dirinya akan pergi.

Tiba-tiba saja, hal yang tak Ruby sangka-sangka terjadi, saat melihat Intan meringis kesakitan sembari memegang pipinya yang berdarah karena ulahnya sendiri. Safir menatap Intan dan luka yang terukir di pipi mulus Wanita itu.

Intan menangis dalam diam dan semakin menunduk saat sadar Safir tengah memerhatikannya.

"Apa yang terjadi?" tanya Safir pelan.

Ruby hanya terdiam sembari menutupi luka yang ada di lehernya dengan telapak tangan. Ia sendiri bahkan tidak mengerti apa yang terjadi.

"Aku tidak tahu apa salahku, Safir," tangis Intan samar dan terdengar serak. "Tapi Wanita itu mencoba menyakitiku tadi."

Sialan! Fitnah bodoh macam apa itu?

Pandangan Safir beralih menatap Ruby tidak percaya. Sedang yang ditatap terkejut, ia menggelengkan kepalanya pelan mencoba memberitahu Safir bahwa ia tidak melakukannya.

"Apa benar kau mencoba menyakiti Intan?" tanya Safir dengan nada datar.

"Tidak. Aku bahkan tidak menyentuhnya."

"Jadi aku harus mempercayaimu daripada sahabatku sendiri?"

"Sumpah! Aku tidak melakukan apa-apa! Kau tidak harus mempercayaiku, tapi aku mengatakan yang sebenarnya," tegas Ruby mulai kesal.

"Aku tidak mungkin melukai diriku sendiri, bukan?" lirih Intan tertahan, seolah ia yang menderita. Seolah dia adalah korban.

Dasar licik!

Ruby memandang Intan bengis. Ia menatap Wanita itu tajam seolah siap menerkamnya kapan saja. Beraninya Wanita lemah semacam Intan bermain-main dengan Ruby? Belum tahukah dia Ruby bukan Wanita yang patut untuk dipermainkan?

"Sudahlah Ruby aku mohon kau jangan dekati Intan lagi! Kau ini tidak ada bosannya membuat masalah seolah-olah ingin mencari perhatianku saja!" Safir menatap Ruby marah. Perkataannya tidak terlalu keras, tapi penuh dengan nada tekanan. "Kau harus ingat! Dalam hidup bukan cuma tentang dirimu saja!"

Ya! Dalam hidup memang bukan tentang Ruby saja, tapi kali ini seolah memang hanya Ruby yang bersalah di mata Safir. Wanita yang memang selalu saja membuat masalah dari awal kedatangannya. Menggoda, membohongi, bahkan membuatnya terjebak akan pesonanya. Safir benci di saat dirinya harus terpesona dengan wanita itu.

Safir kecewa. Keningnya mengerut dalam dengan bibir yang terkatup rapat-rapat. Ia menuntun Intan untuk meninggalkan toilet, meninggalkan Ruby yang masih terdiam kesal. Tanpa menoleh lagi.

Tangan Ruby yang menutupi lehernya sedari tadi turun perlahan, membiarkan cairan merah itu mengotori lehernya lebih banyak. Ia tidak peduli, bukan itu yang ia pedulikan. Tapi perasaanya yang terasa mengilu, sesak seolah tak membiarkan Ruby bernapas dengan baik. Matanya memerah menahan sakit yang tiba-tiba menyerang hatinya. Jantungnya terpompa cepat, tapi ia malah merasa semakin sesak saat menarik napas. Tangan yang sempat memegang lehernya beralih mengusap dada. Apa ini artinya hati Ruby kembali bekerja? Setelah sekian lama ia tidak merasakan apa pun. Kali ini perasaan aneh itu menyergap Ruby. Perasaan asing yang tak akan pernah Ruby suka.

Apa Ruby sakit hati?

===




Jadi ini kan latarnya Indonesia jadi aku gak berani buat yang terlalu ekstrem, ya. Atau gimana ada yg keberatan komen aja ya.

Tq<3

With Your BodyWhere stories live. Discover now