12 || Identitas

5.1K 201 0
                                    

===

SUASANA hening menyelimuti. Hanya ada suara jangrik menemani si Wanita yang tengah menatap danau, di tangannya terdapat ponsel yang ia sengaja dekatkan pada daun telinga. Tatapannya selalu tajam dan terlihat kosong.

Angin malam menyisir rambutnya ke arah di mana ia pergi. Sampai tangan Wanita itu meletakkan ponsel pada tas dan kembali terdiam. Seolah hanyut dalam dimensi pikiran yang ia buat sendiri. "Bukan Elzar," desisnya pelan.

Mata Ruby bergerak liar tak tentu arah, seolah tengah berpikir keras. "Aku harus temui Chandra. Dia pasti tau segalanya, setidaknya hanya untuk memastikan apakah semua yang aku pikirkan itu salah."

"Pikiran apa?"

Ruby menoleh cepat saat suara Wanita lain bertanya dan duduk di bangku taman tepat di sebelahnya. Sera tiba-tiba saja datang dan tersenyum sinis.

"Pikiran apa, Ruby?" ulang Sera.

Ruby hanya memutar bola mata malas dan mengalihkan pandangan ke sekitar danau. Jantungnya hampir lepas dari tempatnya karena Sera yang datang tiba-tiba tanpa permisi atau setidaknya jika mau mengagetkan Wanita itu bisa izin terlebih dahulu, bukan?

"Hei, jangan diam saja. Aku sudah mencarimu ke mana-mana dan malah bertemu denganmu di taman sepi ini. Ruby, ini tengah malam. Apa kau tidak takut sendirian di sini? Lebih baik kita pulang saja!" tutur Sera.

Sementara Ruby menghela napas panjang dan menoleh ke arah Sera. "Aku lelah menjadi pembunuh."

"Kalau lelah. Kenapa tidak berhenti?" tanya Sera.

"Aku tidak tahu. Masih banyak laki-laki bajingan di luar sana yang belum aku habisi." Ada jeda sebelum Ruby melanjutkan perkataannya. "Kau tahu, Sera? Dari semua orang-orang yang aku bunuh, tak ada satu pun dari mereka yang mengenaliku. Lalu bagaimana mereka bisa tertarik dan langsung mengajakku tidur?"

Sera melirik sedikit. "Karena di jaman modern seperti ini mereka lebih mementingkan paras dan body, Rubs."

Ruby mengulum bibirnya merasa bingung. Kepalanya hampir meledak karena pikiran-pikiran aneh yang selalu menggerayangi otaknya. Ia merasa cemas, tapi entah untuk alasan apa ia sama sekali tidak tahu.

Sera tersenyum paham dan mengusap pundak Ruby pelan seolah menenangkan. "Mau berapa banyak orang yang akan kau bunuh? Seratus? Seribu? Sebanyak apa pun itu, bajingan lain masih tetap ada. Jangan dibunuh, mereka bisa saja berubah, bukan? Atau mungkin kenyataannya seperti ini, mereka tidak pernah berubah. Tapi mereka juga manusia, mereka berhak untuk hidup. Terlebih kau tak mengenalnya."

Ruby hanya diam dengan jari-jari yang bertautan. Matanya masih bergerak liar tidak nyaman.

"Rub, membunuh tidak membuat ingatanmu kembali. Aku khawatir kau kenapa-napa," kata Sera lagi yang untuk kesekian kalinya memperingati wanita itu. Wanita keras kepala yang tidak akan pernah mendengar sarannya. "Kau hanya mengotori memori dua tahun belakangan ini dengan pembunuhan dan rasa benci."

Dua tahun yang lalu, tepat saat Sera kehilangan kedua orangtuanya. Ia meraung-raung memanggil dua nama yang sangat ia kagumi di sebuah pemakaman. Saat itu hujan mulai berdatangan, anginnya berembus menusuk kulit Sera, tapi ia masih di sana mengusap papan nisan hendak tinggal saja bersama dua orang tuanya yang sudah dipeluk tanah. Sampai Ruby datang sebagai orang aneh memayunginnya tanpa berkata apa pun. Sera terus menangis dalam diam sampai malam hadir, Ruby dengan setianya masih memayunginnya tanpa bergerak barang sejengkal. Sera menganggap Ruby wanita aneh kala itu, ia justru tidak memedulikan Ruby dan masih meratapi kepergian dua orang tuanya yang tewas karena kecelakaan.

With Your BodyWhere stories live. Discover now