Bab 17. Nggak Kenapa-napa

178K 14.6K 355
                                    

            Citra menoleh pada Kevin yang sedang menahan ringisan. Dia yakin kaki cowok itu keselo karena melompat tadi. Lagipula kenapa harus melompat? Kan bisa keluar dari jendela lain yang lebih rendah.

Kevin menoleh ke belakang. Citra melangkah pelan-pelan. Dia menghampiri Citra dan merangkul bahunya. Cewek itu terkejut, tetapi Kevin tetap diam dan mereka kembali melanjutkan jalan. Citra tidak berani melepas rangkulan Kevin, dia merasakan jika cowok tersebut sedikit kesusahan berjalan.

"Kemana?" Tanya Citra.

"Cari tempat aman." Balas Kevin. Keduanya berada di luar pekarangan sekolah. Di belakang dinding perpustakaan memang tidak ada pagar lain, karena di belakangnya hanya ada semak-semak belukar yang lumayan padat.

"Kaki kamu keselo?" Tanya Citra. Setelah berjalan agak jauh, mereka duduk di pinggir sebuah lapangan luas yang sedang dalam proses pembangunan aprtemen dan mall.

Perkampungan yang telah digusur beberapa bulan yang lalu, hanya ada beberapa rumah yang masih berdiri. Tetapi dalam waktu dekat, semua akan diratakan. Rumah-rumah itu tempat berjualan untuk para pekerja bangunan di sana.

Kevin menyerahkan air mineral pada Citra setelah membuka kemasannya. Cewek itu menerima lalu meneguk isi hingga setengah. Dia terengah, lalu membiarkan Kevin meraih botol tersebut dan meneguk isinya.

Kebiasaan. Kevin mampu membeli seisi warung. Tetapi paling pelit jika sudah bersama Citra. Hanya membeli satu kemasan dan berbagi. Jika cowok itu membeli yang lain, pasti menghabiskan satu kemasan terlebih dahulu.

Kevin meletakkan di sampingnya. Menatap langit cerah dengan menumpukan kedua tangannya di belakang. Tubuh mereka dilindungi sebuah pohon rindang dari sengatan sinar matahari.

Citra tidak berbicara lagi. Membiarkan keheningan mencekam di antara mereka. Dia menoleh pada Kevin yang sedang memejamkan mata. Keduanya menyelonjorkan kaki sehingga keletihan tadi sudah berkurang banyak.

Tiba-tiba cewek itu menegakkan badannya, merogoh kantong dan mengangsurkan lipatan kertas kecil pada Kevin. "Ini bayar utangku." Katanya.

Kevin menoleh, di tangan Citra beberapa lembar uang kertas digulung kecil. Dia mendengkus, membuat Citra mengerutkan dahi.

"Ini bayar mobil-mobilan yang kamu beli untuk Zen. Sama bayar tiket dan makan di pasar malam." Tambahnya lagi karena Kevin tak kunjung menerimanya.

"Simpan aja." Balas Kevin pelan.

Citra menggeleng. "Aku nggak mau punya hutang."

"Anggap lunas."

"Nggak bisa!" Citra frustasi. Jika biasanya orang yang meminjamkan yang lebih frustasi karena si peminjam tak kunjung membayar utangnya. Lain hal dengan Citra, dia frustasi karena Kevin tak mengubris uang di tangannya. "Aku nggak tenang kalau masih punya utang." Cewek itu meraih tangan Kevin dan meletakkan di telapak tangannya.

Kevin akhirnya mengalah. Membiarkan gulungan uang kertas itu ditangannya. Lalu mereka diam setelahnya.

Citra merasa tidak ada gunanya lagi di sana. Pelajaran sekolah pasti sudah usai, dia hendak beranjak dari sana untuk kembali ke sekolah mengambil tas serta motor bututnya.

Tetapi Kevin mengetahui niatnya. Meraih tangan Citra dan membawanya tidur terlentang di lapangan luas tersebut. Citra terhenyak, tetapi Kevin tidak peduli. Menggenggam tangan Citra agar tidak pergi meninggalkannya sendirian di sana.

Citra lagi-lagi mengalah. Membiarkan tubuhnya berbaring di samping Kevin. Dia menatap langit biru, lalu menoleh pada Kevin yang masih memejamkan mata. Sepertinya Kevin kembali tidur. Citra termenung, cowok itu tidur di mana saja dan kapan saja.

EX [TERBIT]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant