SEMBILAN. Kurang peka.

Start from the beginning
                                    

"Okedeh, gue lagi kepo. Jadi seperti apa tipe lo?" Althaf tidak akan menyerah. Ia akan terus menanyakannya hingga cewek itu membuka mulutnya, memberi tahu hal yang sangat penting baginya.

"Tipe gue...." Amira mengetuk-ngetuk pipinya seraya memikir tipenya. "Wajahnya, tampan kayak Manu rios atau Kim Taehyung."

Wajah Althaf menjadi cerah.

"Berarti gue tipe elo. Secara, gue kan kembarannya Manu rios," ujar Althaf percaya diri seraya tersenyum tidak jelas.

Serius? Telinga Amira tidak salah dengar, kan? Bagaimana bisa cowok itu menyebut dirinya adalah kembarannya Manu rios. Jika ada alat pengukur tingkat kepercayaan diri, Amira akan menggunakannya untuk mengukur kepedean cowok itu yang ia duga berada di tingkatan teratas.

"Huek." Amira memberi gesture orang yang muntah. "Pede banget sih elo. Gue akui lo ganteng, tapi lo kalah jauh dari Manu rios. Bisa dibilang kegantengan lo hanya seukuran daki Manu Rios."

"Sial. Gini-gini gue punya banyak fans. Mungkin lo aja yang katarak. Lo gak bisa lihat pesona gue?"

"Haha, monyet!"

***

Malam ini akan menjadi malam terakhir mereka berada di sana. Saat ini mereka tengah menshoot keluarga Bu Aisyah yang sedang makan malam bersama.

Althaf yang menjadi kameraman ikut cemburu. Ia memiliki banyak uang, hidupnya di kelilingi hal-hal yang mewah, dan banyak hal yang bahkan hanya dianggap sebagai impian oleh keluarga kurang mampu seperti Bu Aisyah. Bisa membuatnya cemburu, saat keluarga itu dengan hangatnya bersenda gurau bersama keluarga mereka.

Berbeda dengannya, untuk sekadar pertemuan hangat antara keluarganya saja langka. Apalagi seperti mereka yang bahkan memakan apa adanya. Cemburu. Sangat-sangat cemburu. Ia jadi merindukan ibu dan ayahnya yang sibuk bekerja. Kapan terakhir kali bertemu dengan mereka saja ia tidak ingat.

Althaf bernapas lega. Akhirnya tugasnya selesai malam ini, sisanya ia hanya perlu mengambil video sunrise besok untuk opening film.

Melihat bagaimana kehidupan keluarga Bu Aisyah, diam-diam Althaf memberi sejumlah uang untuk keluarga itu. Hitung-hitung sebagai sedekah dan imbalan sudah membantu mereka mengerjakan tugas. Dan Amira tidak tahu itu. Karena ia tahu, sedekah itu bukan untuk dipamerkan. Bagus. Badboy berhati goodboy.

Amira menghentakkan kakinya. Sepertinya ia sangat lelah untuk berjalan. Dan bagaimana seramnya jalanan ini kala malam hari membuatnya merinding. Apalagi jalan tersebut diapit oleh kebun teh dari sebelah kanan dan kirinya terdapat hutan.

"Althaf, kenapa lo enggak bawa motor aja?" keluh Amira. "Emangnya elo enggak capek apa?"

"Kalo pun harus berjalan sampai kutub selatan pun gue mau. Asalkan sama lo, Amira." Althaf melontarkan gombalan.

"Gombal lagi. Gue males dengerinnya. Sakit telinga gue," jengkel Amira seraya mengibaskan tangannya ke udara. "Ih, langit mendung. Kalo kita kehujanan gimana?"

Belum sempat menjawab, guyuran hujan cepat mendahului Althaf. Mereka menjadi panik, karena sejauh penglihatan mereka tidak ada satu pun tempat yang akan menjadi tempat mereka berteduh.

Althaf melihat sebatang pohon tak jauh dari mereka. Tidak ada pilihan lain. Tangannya menarik Amira, menggiringnya ke bawah pohon dengan dedaunan yang memang lebat itu. Berdiri di sana tidak akan mempan, karena hujan tetap bisa masuk melalui celah-celah dedaunan dan ranting. Setidaknya mengurangi kebasahan.

Althaf menaikkan tas ranselnya ke atas kepala, tangannya ia angkat untuk memegang ransel itu, menjadikannya sebagai atap untuk menghalangi timpaan hujan. Tepatnya ransel itu lebih menutupi Amira. Ia mengabaikan jika kemera dan tripod ada di dalam ransel tersebut.

Jantungnya berdebar. Jantungnya Althaf berdebar kala ia menyadari jika wajahnya dengan Amira sangat dekat.

Tidak beda dengan Amira. Jantungnya juga berdebar kencang. Deru napas Althaf yang terasa di wajahnya membuat darahnya berdesir. Ia membuang mukanya, mencoba menetralisir debaran jantungnya yang terlampau menggebu-gebu tersebut. Kepalanya ia dongakkan ke atas lalu kembali menatap ke arah Althaf.

"Kalo kameranya basah gimana? Nanti rusak."

Lama untuk Althaf menjawabnya. Hingga Amira kembali membuka suara. "Althaf lo enggak dengerin apa? Kalo kemeranya rusak gimana? Kan mahal!" teriak Amira berusaha mengalahkan suara hujan meskipun sulit. Setidaknya didengar oleh Althaf, memang untuk didengar oleh cowok itu.

"Biarin, asalkan lo enggak terlalu kena hujan. Karena lo itu lebih berharga."

Hebat. Kalimat barusan benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantung Amira. Ia lebih memilih mengabaikannya. Seolah-olah tidak mendengarkannya.

"Amira, kapan sih lo peka? Kalo gue beneran suka sama lo."

***
Thanks.
15 April 2018
Wardatul Jannah. 11.02PM

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now