Tidak, batinnya memohon. Jangan undangan ini lagi.

Addo meremas kertas hijau tersebut, hatinya mencelos.

"Saya harap ayah kalian bisa meluangkan waktu dan datang menghadiri pesta hari ayah disekolah," kata Mrs. Reed sambil tetap membagi-bagikan kartu undangan.

"Tapi Mrs," Jake mengangkat tangan, menyela. "Bagaimana dengan yang tidak punya ayah?"

Beberapa anak langsung tertawa, tapi mereka semua adalah teman-teman satu geng Jake. Addo menoleh menatap Jake yang duduk di pojok belakang, tanpa sadar mengepalkan tangannya. Satu-satunya hal yang membuat Addo tidak beranjak dari kursinya dan memukul Jake adalah karena kelas masih berlangsung. Maka ia terpaksa berusaha keras untuk menahan amarahnya. Tapi sejujurnya sebagian dari diri Addo sudah tahu dia akan sempat saja dikatai seperti tadi.

"Mr. Walter, jaga omonganmu!" bentak Mrs. Reed, membungkam semua tawa yang masih tersisa. Addo lantas kembali duduk menghadap ke depan, menunduk menatap undangan yang telah menjadi bola remasan penuh kebencian. Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi pada akhirnya, dan Mrs. Reed pergi. Hayley sudah melaksanakan tugas rutinnya sebagai tukang hapus papan, tapi Addo yang sekarang tidak peduli lagi.

***

"Addo ayolah! Kumohon! Kami mengerti perasaanmu."

"Addo!"

"Addo, berhenti!"

Dia menghela napas tanda menyerah sebelum berhenti berjalan dan berbalik badan menghadap kedua sahabatnya yang cerewet, Alice dan Matt.

"Bisakah kalian meninggalkanku sendirian?"

Matt mendengus. "Kau selalu begitu! Kami tidak akan pernah meninggalkanmu ketika kau punya masalah!"

"Ini bukan kali pertamamu mendapatkan undangan itu," sambung Alice.

"Lagipula, mereka memang selalu membullymu kan? Ayolah, jangan sedih begitu. Kami tahu rasanya," Matt menepuk-nepuk pundak Addo.

"Benar, kami mengerti perasaanmu." Kata Alice lagi. "Kami mengerti memang sakit rasanya."

"Thanks teman-teman, aku bersyukur punya kalian berdua," Addo akhirnya bisa tersenyum, walaupun hanya berupa ulasan kecil saja. Namun tepat setelah itu Jason, Jake, Dylan dan Aris tiba-tiba datang menghampiri mereka bertiga, mencegat jalan. Ini dia malapetaka datang.

"Wah, wah, lihat! Nampaknya Chance baru habis menangis," ejek Dylan. Yang lainnya tertawa.

"Jangan dengarkan mereka," Matt mengingatkan, seraya mengamati keempat bully didepan mereka satu-persatu. Dia juga sering menghadapi bully, dan terus terang ia cukup lelah menghadapi ulah dari orang yang sama secara terus-menerus.

"Oh iya benar! Lihat, matanya sembab!" seru Aris. Kawat giginya yang kotor karena kurang dirawat tampak saat ia tertawa.

"Ayo pergi darisini," ajak Alice segera. Matt menarik pundak Addo agar ikut, tapi usaha mereka untuk mengabaikan para tukang tindas jelas tidak berefek apa-apa sama sekali.

"Kalian tahu, ketika hari ayah nanti setiap anak akan datang bersama ayahnya. Tapi Chance? Dia akan datang dengan tali gantung diri yang di lab itu!" Seru Jason.

Langkah Addo terhenti. Dia langsung menampik tangan Matt dan kembali menghampiri Jason dan gengnya. Tanpa ba bi bu ia menonjok wajah Jason keras. Hidungnya langsung berdarah. "Brengsek kau!" umpatnya keras. Kemudian tiga orang lainnya langsung mengepung Addo. Mereka mencengkram kedua tangannya sangat kuat. Addo tidak bisa bergerak sedikitpun.

Jason menyeka darah di hidungnya dengan punggung tangan. "Kau harusnya mati, Chance! Gara-gara tingkahmu yang keterlaluan itu, kakakku jadi masuk rumah sakit jiwa!"

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now