part 28 'kenyataan pahit'

1.9K 273 110
                                    

Di dalam kamar, terdapat Veranda sedang menidurkan Denzel. Tangannya bergerak pelan mengusap kepala Denzel yang sudah tertidur, matanya menatap lurus dengan pandangan kosong. Pikiran nya tertaut pada Kinal, sejak insiden tadi siang yang tak sengaja ia saksikan sendiri.

Suara gemuruh guntur yang tidak terlalu keras, sesekali menggema menemani derai hujan yang sejak tadi siang mengguyur ibu kota. Sedikit menyentaknya dari lamunan, ia melihat kearah jendela yang belum tertutup gorden sepenuhnya. Sepelan mungkin Ve bangkit agar tak membangunkan Denzel, untuk menutup gorden yang masih terbuka.

Namun niatnya terhenti, saat matanya menangkap bayangan seseorang. Berdiri terdiam menatap rinai hujan yang belum juga reda. Veranda melihat jam yang sudah menunjukan pukul delapan malam, sudah hampir lima jam dari hitungan nya, orang yang berdiri di balkon itu masih tetap setia berdiam disana. Veranda paham bagaimana perasaan Kinal saat ini setelah mengetahui kenyataan pahit yang baru di terimanya.

Rasa khawatir menuntun kakinya untuk melangkah keluar menghampiri nya.

Semilir angin malam yang disertai hujan terasa begitu dingin menyentuh kulitnya saat membuka pintu, hal itu sedikitpun tak menyurutkan langkahnya.

"Apa yang membuatmu betah menemani hujan? Sudah malam, bukankah lebih baik untuk segera masuk" Veranda berdiri beberapa langkah di belakang Kinal

Kinal tidak terkejut sama sekali, pikiranya kosong menerawang. Ia masih diam, walau suara Veranda berhasil masuk kedalam pendengaran nya.

"Aku menyukai hujan"

Jawaban Kinal membuat Veranda mengerutkan dahi, tak sadar langkah kakinya kembali bergerak mendekati Kinal berdiri di sampingnya. Namun masih menyisakan jarak yang terpaut satu meter. Tak terlihat sedikitpun Kinal kedinginan, pria itu berdiri tenang walau hanya berbalutkan kaos tipis dan celana chino panjangnya.

"Karena hujan menggambar kan bagaimana diriku" seolah tau jika Veranda penasaran menunggu penjelasan lebih.

Veranda menatap wajah samping Kinal, dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri. "Aku tidak mengerti" imbuhnya.

Kinal tersenyum sambil memasukan sebelah tangan nya kedalam saku. "Iya. ketika hujan tiba, kehadirannya selalu di cela seolah tak dibutuhkan bahkan dianggap mengganggu aktivitas manusia. Tapi ketika hujan tidak ada, kehadirannya selalu diminta dan diharapkan seolah kehadirannya begitu berarti" ujar Kinal dengan nada tenang, lalu mengalihkan wajahnya pada Veranda yang masih menatap kearahnya.

Veranda terhenyak mendengar penuturan Kinal tentang dirinya yang ia dalihkan dengan Hujan. Menciptakan perasaan tak biasa pada hatinya, ia seolah ikut merasa sedih. Tak terima.

Veranda menatap dalam Kinal, untuk mencari sesuatu. Dan... Ya, ia menemukan nya. Tatapan terluka yang amat sangat terlihat jelas walau terhalang frame kacamata.

Ingatanya kembali pada kejadian yang tidak menyenangkan tadi siang, yang ia dengar tak sengaja.

Hari ini kepulangan Denzel dari rumah sakit. Ia membiarkan Kinal menjemputnya dan Denzel dari rumah sakit. Seperti biasa Veranda bersikap acuh pada Kinal, ia turun terlebih dulu dengan Denzel yang terlelap di pelukanya. Setelahnya ia pun membereskan baju kotor Denzel selama di rumah sakit.

Setelah selesai rasa haus menggerogoti tenggorokan nya, ia pun pergi menuju dapur untuk menuntaskan dahaganya.

Begitu menginjakkan kaki di dapur, telinganya mendengar teriakan dari arah kamar mertuanya yang tak terlalu jauh dari dapur. Penasaran, langkahnya berbalik untuk mengetahui apa yang terjadi.

"Jika kamu lupa, Kita tidak pernah mengharapkan kehadirannya, kita mempertahankan nya karena terpaksa!"
Tambah Neni dengan jelas, membuat Rifat bungkam.

Levirate (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang