"Lo ke kamar sebelum Bokap Nyokap gue datang," kata Kenzie sebelum Shareen berbicara untuk protes. Shareen yang tadi ingin bicara menjadi bungkam, tapi senyumnya tak hilang karena sejak tadi dalam hati berterima kasih kepada Kenzie yang sangat baik padanya.

"Jangan bilang-bilang ke Mama Papa." Kenzie menatap Mbak Tia dan Mbak Ika bergantian. "Bilang ke yang lainnya besok untuk rahasiakan keberadaan cewek ini."

"Kenapa harus dirahasiakan?" Shareen mendongak menatap Kenzie bingung. "Gue bisa kerja jadi pem-"

"Lo pikir mudah buat nyeritain semuanya?" Kenzie menunduk, ikut menatap Shareen hingga mereka bertatapan lama.

Sementara Mbak Ika dan Mbak Tia hanya mengangguk kemudian saling pandang seolah bertanya apa yang sebenarnya terjadi di antara dua remaja itu.

"Ikut gue!" seru Kenzie, menarik Shareen menjauh dari ruang makan hingga membuat cewek itu melangkah tertatih-tatih.

Sepeninggalan Shareen dan Kenzie membuat dua perempuan berumur 30-an di ruangan itu hanya bisa terheran-heran dan melebarkan senyum melihat tingkah anak majikannya yang marah-marah.

"Kenzie berani ya bawa pacarnya ke rumah," kata Mbak Tia.

"Menurut lo, cewek itu pacarnya Kenzie?" tanya Mbak Ika.

Mbak Tia menoleh ke Mbak Ika dengan tatapan bertanya juga. "Menurut lo gimana?"

"Dia nggak bawa apa-apa." Mbak Ika menatap pintu ambang di mana Shareen dan Kenzie terakhir kali dia lihat. "Kalau memang mau menginap, pasti bawa tas."

"Tapi tadi cewek itu bahas masalah kerja."

"Ah, sudahlah. Cewek itu beruntung banget. Andaikan gue masih seumuran cewek itu," kata Mbak Ika lalu terkekeh mendengar ucapannya sendiri.

"Terus?" Mbak Tia menatap Mbak Ika heran.

"Ya gue bisa deketin Kenzie buat jadi pacarnya."

"Memang Kenzie mau sama lo?" Mbak Tia tertawa. "Ngimpi!"

Obrolan dua perempuan itu berakhir saat mendengar suara deringan telepon rumah yang berasal dari ruang tengah. Mereka berjalan tergesa-gesa dan menerima telepon yang ternyata dari majikan mereka.

***

Shareen berjalan tertatih mengikuti langkah lebar Kenzie yang tak menggubrisnya sama sekali.

"Sakit.... Pelan-pelan gue mohon...." Sejak tadi hanya itu yang Shareen katakan kepada Kenzie yang seolah-olah tak melihatnya.

Penderitaan Shareen berakhir saat Kenzie melepaskan pegangannya dari tangan Shareen setibanya mereka di sebuah kamar yang catnya didominasi warna putih. Melihat segala dekorasi kamar itu dan segala hal di dalamnya membuat Shareen yakin bahwa ini adalah kamar Kenzie.

"Ini kamar siapa?" Shareen menoleh dan mendongak menatap Kenzie di sampingnya.

"Kamar gue. Lo tidur di sini."

Shareen melotot. "Tidur di sini? Di kamar lo? Gue nggak mau!" bentaknya.

"Lo tidur di sini!"

"Gue nggak mau tidur sama lo!"

"Astaga...." Kenzie tak ingin banyak bicara, tapi cewek di sampingnya ini mengharuskannya untuk mengeluarkan banyak kata yang membuatnya terlihat emosi. "Gue nggak tidur di sini sama lo. Gue tidur di bawah."

"Tetep aja satu kamar!" Shareen menggeleng panik. "Gue nggak mau!"

"Cewek ini...." Kenzie berdecak kesal dan menatap langit-langit kamar. "Bukan bawah di lantai, tapi di bawah. Kamar yang ada di bawah." Telunjuk Kenzie tertuju ke bawahnya, seolah dia menunjuk lantai dasar rumahnya.

"Ooh...." Butuh waktu lama untuk berbicara lagi. Shareen merasa malu karena salah paham. "Kenapa gue harus tidur di sini?" Kali ini, dia berbicara dengan suara pelan sambil menatap Kenzie di sampingnya dengan pandangan takut-takut.

"Kenapa? Risikonya kalau lo ada di bawah, lo bisa ketahuan Nyokap Bokap gue kalau seandainya saja mereka masuk kamar itu." Kenzie menarik Shareen, mendudukkan cewek itu di ujung tempat tidurnya dengan hati-hati. "Selama lo ada di rumah ini, lo harus tetap stay di kamar gue. Jangan ke mana-mana apalagi berniat buat keluar tengah malam atau subuh. Karena Bokap Nyokap gue nggak ada di rumah dari pagi sampai sore, lebih sering sampai malam. Dan jangan keluar dari kamar kalau hari sabtu dan minggu kecuali Nyokap dan Bokap gue lagi nggak ada di rumah."

Shareen menyimak segala ucapan Kenzie. "Tapi kerja gimana?"

"Gue nggak bilang lo harus kerja."

"Tapi-"

"Turuti aja apa yang gue bilang atau lo pergi dari sini sekarang," kata Kenzie tanpa bentakan atau pun kelembutan dari nada bicaranya. Hanya ada intonasi datar yang malah membuat Shareen bungkam.

Shareen melihat ke kakinya. Sepatu putih bertali milik Kenzie masih membungkus kedua kakinya semenjak di mobil tadi. Dia kembali menatap Kenzie karena teringat sesuatu yang tiba-tiba menyerbu pikirannya begitu saja.

"Tapi nanti kalau tengah malam gue laper dan haus gimana?" tanya Shareen sambil berdiri. Bukannya dihiraukan, cowok yang masih mengenakan seragam sekolah itu justru berbalik badan dan menarik gagang pintu. Kemudian dalam sekejap, pintu itu tertutup sempurna. Kenzie meninggalkan Shareen sendirian di kamar ini tanpa mengucapkan kata perpisahan atau semacamnya.

"Eh, tunggu! Kenapa dikunci? Eh, lo?" Shareen menggedor pintu dari dalam. Wajahnya panik karena dengan terkunci di dalam ruangan itu, dia tahu dia tak bisa ke mana-mana. "Gue sering bangun kalau tengah malam dan langsung cari air minum," katanya masih dengan suara keras. "Gue juga kadang laper."

Tak ada suara. Hanya ada Shareen di dekat pintu menunggu pintu dibuka oleh Kenzie. Namun, dia pikir hal itu tak akan terwujud. Shareen menjauh dari sana dan meringkuk di dekat sofa. Dia memilih duduk di lantai sambil menekuk lututnya dibanding duduk di sofa yang tak membuatnya bebas seperti kebiasannya duduk meringkuk.

Kamar ini memang luas. Ada kamar mandi. Sofa. Meja. Televisi. Tempat tidur berukuran besar. Beberapa lemari dan rak. Bahkan di dinding terdapat dart board. Akan tetapi, Shareen sendirian. Dia tak tahu harus melakukan apa di sini selain merenung.

Dia memeluk lututnya sambil bersandar di sisi kanan sofa. Tiba-tiba teringat kejadian beberapa jam yang lalu di mana dia terbangun di sebuah halte depan sekolah yang tidak dia kenali. Dia pun tak tahu ada di daerah mana. Kemudian dia bertemu dengan seseorang yang menurutnya baik hati karena mau menampungnya untuk tinggal di sini sementara waktu sampai Shareen tahu caranya kembali ke tahun asalnya.

Tanpa sadar, Shareen menyesali apa yang terjadi sebelum dia terdampar di halte. Dia menangis dalam diam. Bayangan Papa muncul dalam pikirannya, mengingatkannya akan kesalahan dan kesalahpahaman yang bahkan dua hal itu tidak dia ingat apa.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani


Can I Meet You Again?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang