Widya (1/2)

354 7 0
                                    

Sepi, sunyi, dingin. Suasana di tempat ini membuatku makin merasa sendiri. Aku merasa sangat lapar hingga perutku berbunyi. 

"Hai (sambil menyentuh pundak kiriku)" tiba-tiba ada yang menyapaku dan duduk di hadapanku.

"AAAAA!!! Eh, suster. Maaf ya sus, aku tadi kaget banget. Dikirain di sini gak ada orang soalnya.."

"Iya gak papa. Nama kamu siapa?'

"Nanda, sus. Suster siapa namanya?"

"Yani. Nanda pasien di sini?"

"Iya, sus. Tadi aku lari dari kamar. Untung tadi aku nggak diinfus"

"Lho? Kenapa lari? Pasti ada masalah ni.."

"Aku kesel sama ibu tiriku. Aku kesel banget punya ibu tiri. Terus, dia tuh suka caper banget sama papa. Pokoknya nyebelinnnnn"

"Nanda, kamu sama kayak suster dulu. Dulu juga suster punya ibu tiri. Suster juga gak suka sama sifatnya. Makanya suster benci banget sama beliau. Tapi lama-lama suster mikir, suster juga anak tiri ibu itu. Tapi, ibu itu gak benci sama suster. Padahal pasti ada sifat suster yang gak disukai sama ibu itu. Tapi ibu itu selalu sayang dan perhatian sama suster. Akhirnya suster datangi ibu itu, peluk dia, dan minta maaf. Akhirnya kita hidup damai dan tenang"

"Suster minta maaf? Suster kan gak salah"

"Menurut suster, suster salah. Suster membenci orang yang sayang dan perhatian sama suster seperti ibu kandung sendiri" jawab suster yang berderai air mata.

Aku hanya terdiam. Aku mulai berfikir soal TA yang.. well... aku tetap harus menjaga jarak dengannya yang belum aku percaya. Saat aku melihat sekelilingku, aku tidak melihat seorangpun di sebelahku.

"Sus? Suster? Di mana??"

Tidak ada jawaban. Ternyata itu hanya halusinasiku saja. Akhirnya aku memutuskan untuk ke luar. Aku keliling ke sana ke mari mencari papa dan TA. Setelah lama mencari, aku mulai terisak sambil berlari dan berteriak "papa!" untuk menandakan posisiku bila ia mendengarku. Tiba-tiba ada yang meraih tanganku saat masih berlari. Otomatis aku spontan berhenti berlari dan menengok ke belakang. Aku melihat diriku sendiri yang tersenyum. Lalu dia mendekat padaku dan berbisik "pergilah ke kantor polisi terdekat". Lalu ia menghilang. Aku sedikit panik saat itu. Namun, menurutku itu tidak penting untuk mencari sosok yang tadi sepertinya adalah aku. Yang terpenting sekarang adalah mencari papa dan lainnya. Tapi, di sekitar sini kan banyak kantor polisinya. Terus, gimana nyarinya. Kuingat-ingat lagi bisikan sosok "aku" tadi dan aku ingat bahwa ia bilang, kantor polisi terdekat. Berarti, aku harus mengunjungi kantor polisi yang paling dekat dari sini.

Aku berlari ke luar rumah sakit dan tidak menghiraukan siapapun yang bertanya kepadaku "mau ke mana". Akupun bertanya kepada satpam yang ada di luar soal di mana kantor polisi terdekat. Melihatku yang mengenakan seragam sekolah, ia pun bertanya

"Adek mau ngapain ke kantor polisi? Kalo ada masalah, biar bapak aja yang laporin"

"Enggak pak... tolong pak, di mana pak, di mana??" tanyaku dengan tergesa-gesa.

"Tapi adek beneran mau ke kantor polisi kan, bukan mau kabur dari sekolah?"

"Bukanlah pak.. Saya kan dari dalem tadi, saya kabur dari kamar malahan tadi.. eh, aduh keceplosan"

"Gak boleh keluar dek kalo belum diizinkan. Nah, suster! Suster! Ini ada pasien yang tadi kabur!" teriak satpam tersebut. Aku langsung berlari sekencang mungkin dan langsung dikejar oleh satpam tersebut. Aku hanya terus berlari sampai aku melewati kantor polisi. Aku yang sempat melewatinya langsung berbalik arah menuju kantor polisi tersebut dengan cepat sebelum aku tertangkap satpam rumah sakit tadi. Akupun masuk ke sana dan menemukan...

Bunda (SUDAH TIDAK DILANJUT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang