Berawal Dari Luka

25 7 4
                                    

Menunggu sepertinya sudah menjadi takdir Ibel sejak lahir, dari beberapa jam yang lalu Ibel sudah duduk di taman kota seorang diri; tengah menanti sosok yang sudah lama sekali tidak ia temui. Bukan. Bukan lama tidak ia temui, tapi orang itu yang sepertinya selalu menghindar untuk bertemu dengannya.

Selalu saja ada alasan saat Ibel mengajak Angga untuk bertemu hanya beberapa menit, atau mungkin detik. Ibel tidak perlu berlama-lama berbicara dengan lelaki itu, toh, bisa melihat wajah Angga saja; itu sudah lebih dari cukup.

Ibel juga tidak perlu Angga menanyakan kabarnya, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kesehariannya. Ibel tidak perlu itu, yang Ibel butuh kan hanya Angga peka dengan perasaan yang selama ini Ibel coba untuk pendam dalam-dalam.

Ibel hanya perlu Angga melihat ke arahnya bukan sebatas teman, adik atau mungkin sahabat. Sejak SMA Ibel memang selalu berada di dekat Angga, menjadi pendengar yang baik bagi seorang Angga, atau sesekali menjadi tempat bersandar di saat Angga lelah dengan aturan ketat orang tuanya yang menganjurkan Angga untuk selalu menjadi yang terbaik.

Ibel seolah tahu apa yang dialami oleh Angga, Ibel seolah tahu apa yang Angga rasakan. Walaupun pada kenyataannya Ibel hanya memeluk seorang diri, Ibel tidak menutup mata bahwa selama ini hanya dirinya yang terlalu menggenggam erat tangan Angga, sedangkan Angga hanya sekedar membalas genggamannya yang kapan saja bisa Angga lepas.

Ibel lelah?

Jawabannya, tidak. Ibel tidak pernah lelah mencintai seorang diri, Ibel tidak pernah lelah mengejar seorang diri walaupun dengan langkah tertatih. Ia percaya, suatu saat Angga akan melihat ketulusannya selama ini bukan sebagai teman atau pun sahabat.

Angga segalanya bagi Ibel, kesedihan Angga adalah luka terdalam bagi Ibel.

Demi Angga, Ibel rela melakukan apa saja. Bahkan seperti saat ini, Ibel tidak memedulikan kesehatannya yang sedang menurun saat Angga mengajaknya untuk bertemu.

"Bel!"

Ibel menoleh dan tersenyum pada lelaki berbadan tegap itu, ada rasa lega saat Ibel menemui bola mata hitam pekat itu masih seperti dulu; hangat.

"Angga."

"Udah lama, ya?"

"Enggak, kok. Ibel juga baru aja sampai."

Ibel mencoba tersenyum seperti biasa, ia seolah lupa telah menunggu Angga begitu lama di tempat ini.

"Angga dari mana?" tanya Ibel saat Angga menggulung lengan kemejanya hingga siku.

"Tadi ketemu Devi dulu, ingat gak? Devi yang dulu sekelas sama kamu, dia jadi sponsor di kantor aku."

"Devi yang juga pernah suka sama Angga?"

Angga diam. Ia menatap mata Ibel lama, lalu terkekeh pelan. "Ibel lapar?" sahut Angga.

"Iya, 'kan?"

Angga mencubit pipi chubby Ibel gemas, gadis itu sepertinya tahu segalanya tentang Angga.

"Sakit, Ga."

"Lagian Ibel juga, sekalinya ketemu malah nanyain itu. Aku gak tau, lupa malahan kalau dia pernah suka sama Angga."

Ibel hanya mengangguk saja, ia tidak mau merusak momen pertemuannya dengan Angga setelah sekian lama ia sulit bertemu dengan Angga.

"Ibel suka lembur, ya? Matanya kok kelihatan sayu gitu, sakit?" tanya Angga sambil memegang kening Ibel memastikan gadis itu baik-baik saja.

Ibel menepis lembut tangan Angga dan menggeleng. Setelah melihat Angga rasa sakitnya seolah hilang, ia tidak lagi merasa lemas atau pun pusing.

JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang