(28) Abi: I Miss Your Smile

17.1K 2.1K 110
                                    

Kita bersama untuk menjadi kuat, bukan aku yang tak paham, atau kamu yang tidak pengertian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kita bersama untuk menjadi kuat, bukan aku yang tak paham, atau kamu yang tidak pengertian. -Abi
***

Sudah tiga hari semenjak bunda dimakamkan, Tisa tidak keluar dari kamarnya. Ini membuat gue khawatir akan kondisi kesehatannya. Berulang kali gue mencoba masuk, namun selalu mendapat penolakan dari Tisa. Hanya Ana dan ayah saja yang boleh memasuki territorial Tisa tersebut, selain mereka tidak boleh. Padahal seusai bunda dimakamkan, Tisa masih bersandar di dada gue dan terlelap. Raut sedihnya gue rasakan saat matanya menutup. Wajah sendu itu membuat hati gue menangis, Tisa lebih sakit dari apa yang bisa gue lihat.

Hari ini gue kembali tidak ke kantor. Monika sudah bersedia untuk mengurusi semua pekerjaan gue, termasuk menunda meeting dengan berbagai relasi gue. Selama satu minggu ini, akan gue berikan seluruhnya untuk berkabungnya bunda. Gue sampai menginap di rumah Mas Adit karena lebih dekat dengan rumah Tisa jika ada hal-hal mendesak yang terjadi disini.

Setelah tadi pagi gue ditolak masuk untuk memberikan sarapan, siang ini gue memberanikan diri untuk memberikan Tisa makan siang. Sudah tiga hari ini ia tidak makan teratur. Ana hanya dapat membawakannya roti dan susu, karena hanya itu yang Tisa bisa makan, lebih tepatnya yang ia ingin makan. Tisa sama sekali tidak menyentuh nasi, apalagi lauk pauk layaknya orang normal.

Gue khawatir?
Jangan ditanya.
Mbak Ana saksinya.
Saksi dimana gue merengek meminta Mbak Ana membawa senampan nasi beserta ayam penyet kesukaannya—yang gue belinya di Tebet itu, namun ditolaknya. Sudah gue coba dengan nasi goreng Kebon Sirih juga, namun kemudian berakhir di lambung gue atau lambungnya Mas Adit.

Hari ini gue bawakan Sop Ikan Batam. Belinya bukan di Batam ya, tapi di salah satu restoran seafood favorit kami berdua. Semoga saja hari ini ada sesuap nasi yang masuk ke lambungnya.

"Mbak, ini ya buat Tisa makan siang." Gue menyodorkan bungkusan sop ikan itu ke Mbak Ana. Mbak Ana menerimanya dengan wajah lesu.

"Tisa nggak mau makan apapun dari tadi, Bi. Bahkan roti sama susu yang biasa gue bawain juga nggak disentuh." Lapornya dengan wajah sayu. Gue tahu Mbak Ana adalah salah satu orang yang paling sedih atas kematian bunda dan juga keadaan Tisa sekarang.

Gue menatap wajah Mbak Ana lesu, "Jadi dari tadi pagi dia belum makan apapun, Mbak?"

Mbak Ana menunduk lesu.

Gue melirik Daniel Wellington di tangan, pukul 01.30 PM. Shit! Sudah berapa jam perutnya kosong?

"Padahal juga semalem makan roti cuma satu potong, susunya nggak habis juga." Mbak Ana mulai menunjukkan tanda-tanda akan menangis.

Gue mendesah pasrah. Gue tahu Tisa sangat berduka, because I'm feeling that way too. Tapi tidak dengan cara menyiksa dirinya sendiri.

"Gue bisa masuk nggak sih, Mbak?" gue tidak sabar untuk memberikan langsung makanan ke hadapan wajahnya. Memaksa Tisa makan dan menunggunya hingga selesai. Tisa boleh berduka, tapi bukan dengan mengorbankan raganya.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang