(20) Tisa: I Love You, But You Don't

18.8K 2.3K 117
                                    

Kudu baca Author's Note dibawah ya, soalnya penting!
Lebih penting dari nikahannya anak pengusaha batubara di Kalimantan yang pestanya 10 hari itu. Juga lebih penting dari akad nikahnya Vicky Prasetyo dan Angel Lelga.
Pokoknya penting aja. Kudu dibaca!

***

Hari ini gue memutuskan untuk pulang ke rumah. Sudah dua hari gue menginap di rumah Ana, tidak enak jika gue memperpanjang masa menginap gue. Lagian memar gue sudah tersamarkan dan hidung gue sudah jauh lebih baik. Memang sih ya, kalau di rumah ada dokter tuh semua penyakit jadi cepat sembuh. Eh kalau penyakitnya hati sih, nyembuhinnya bukan pake dokter!

Adit setiap hari bawain obat yang entah judulnya apa saja buat gue. Ana sih yang nyuruh, kalau inisiatif Adit sendiri mah dia pasti lupa kalau gue nginep di rumahnya dan lagi babak belur. Sama kayak adeknya. Lupa. Gak inget kalau gue, pacarnya ini, masih hidup.

Semenjak kejadian malam-malam gue jejeritan karena Abi secara tiba-tiba meluk gue dari belakang, seorang Abizar belum lagi muncul di hadapan gue. Pesan dan telpon gue juga hanya dibalas singkat. Gue merasakan ada perubahan sikap Abi kali ini. Namun, tak elok rasanya jika gue mencurigai pacar sendiri, selagi masih bisa gue tanyakan ada apa sebenarnya yang terjadi sehingga ia berubah.

Sejak kemarin gue sudah ngantor sebenarnya. Sengaja tidak mengambil istirahat sakit karena gue malas di rumah Ana sendirian. Lagian tangan sama kaki gue masih bisa digerakkan, cuma pipi sama hidung gue saja yang nggak enak dilihat. Alhasil, sejak kemarin dan hari ini gue mengenakan masker untuk menutupi wajah buruk rupa ini.

Baru saja menjejakkan kaki di lantai 17, mata gue menangkap sinyal-sinyal gosip di meja Ina. Gue mencolek Ana dan langsung menuju meja Ina. Ikutan nimbrung.

"Pris, gosip murah apa lagi nih?" gue menghampiri Priska saat ia sibuk dengan menunjuk-nunjuk ponselnya. Disampingnya terlihat Maia, Ina, Mbak Haftia, dan Mbak Abby sedang mencoba memperhatikan apa yang ditunjuk oleh Priska.

"Kali ini nggak murah, Mbak Tis!" Ina menyahut.

"Ini loh, Mbak. Masa ya, ternyata BenkaBenka nggak ngegaji karyawannya? Karyawan yang di pabriknya, yang ngejahit baju-bajunya, pokonya yang buruhnya itu. Kok tega ya?" Priska menahan jari telunjuknya, berusaha menatap gue.

"Hah? Apa? BenkaBenka?" gue mencoba untuk mengklarifikasi.

"Iya, itu loh brand kesukaannya Ina. Kan Mbak Tis hobi juga beli." Maia menambahkan.

Gue mengerjap. Melirik ke Ana yang mencoba mengusap-usap pelan punggung gue.

"Gue nggak akan lagi deh beli BenkaBenka, kejam banget, Mbak. Masa katanya ada yang sampai istrinya sakit ngga bisa berobat karena nggak ada asuransi dari perusahaan." Ina memanas-manasi.

"Lagian ya, masa perusahaan sebesar BenkaBenka nggak punya sistem untuk kesejahteraan karyawannya sih? Bukannya kayak gitu akan ada audit ya?" Priska bertanya, melirik ke gue.

"Itu valid nggak beritanya?" gue mencoba tenang. Jantung gue sudah minta lompat dari tadi. Sekantor ini tidak ada yang mengetahui bahwa yang punya BenkaBenka itu pacar gue. Ya gue nggak bikin presscon, makanya nggak pada tahu.

"Ih, Mbak Tis nggak kegeser kan otak lambe turahnya? Ini sudah jadi perbincangan di medsos tau sejak beberapa hari lalu. Bahkan kabarnya outlet BenkaBenka yang di Kokas udah tutup." Gue menegang. Ana yang menyadari hal tersebut buru-buru mengajak gue untuk permisi dari forum gosip itu.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADWhere stories live. Discover now