(18) Abi: Hell O Hell!

22.9K 2.4K 163
                                    

Gue terpekur menatap laporan keuangan yang disodorkan oleh Direja tadi pagi. Income BenkaBenka merosot tajam awal minggu ini. Sampai 20%. Ini hanya menurut laporan beberapa outlet BenkaBenka yang disekitar Jakarta. Gue belum nerima laporan dari beberapa outlet lain di luar Jakarta. Padahal bulan lalu di minggu terakhirnya saja kita closing dengan laba naik 10%. I'm gonna 'sinting' right now!

Gue merasa ada yang aneh. Semisal ini hubungannya karena keadaan ekonomi Indonesia yang morat-marit, nggak bakalan sampai segininya. Gue belum sampai pada tahap curiga kelas tinggi. Namun Dendy, bagian dari marketing research gue, sudah ditugaskan untuk mencari tahu masalah ini. Karena ini aneh sejadi-jadinya.

Siang ini akan gue buat meeting dadakan. Terpaksa harus skip lunch dengan Tisa yang sudah ditetapkan dua hari sebelumnya. Padahal ini Tisa yang minta, namun gue lagi kacau, ingin masalah ini segera menemukan titik temu. Belum lagi manager store pada ngeluh karena satu minggu ini pendapatan tiap outlet-nya cenderung menurun. Termasuk outlet di Senayan City yang menurut data selalu menghasilkan income paling tinggi.

Belum sempat gue menarik napas, sosok wanita berpostur tubuh tinggi bak model tiba-tiba saja merangsek masuk ke ruangan gue. Monika sudah menarik blouse yang dikenakan wanita itu, namun tetap saja ia berhasil lolos.

"Bos, sorry. Gue nggak sanggup nahan dia lagi. Kukunya tajem." Monika terdengar pasrah.

Gue hanya mengangguk dan membiarkan wanita itu masuk.

"Aku nggak mau putus!" jeritnya saat sudah mendudukkan pantatnya di sofa.

Well, ini mak lampir-versi Monika-namanya Retta, Retta Danurya. Fashion designer yang namanya sedang naik daun.

Dua minggu lalu, sejak gue resmi membuat komitmen tersurat di hati dengan Tisa, gue putusin ini Retta. Sebabnya, ya jelaslah. Ada hati yang harus gue jaga. Dan raga yang harus gue sayangi.

Gue memutuskan Retta juga dalam obrolan empat mata. Membeberkan fakta bahwa selama ini gue dengan dia tidak pakai rasa. Sounds cruel, but I love to be honest.

Dia jelas nggak terima. Ada adegan gue disiram pake air putih. Untung air putih, karena dia pesan hot moccachino, kalau nyiramnya pakai hot moccachino-nya dia kan berabe gue.

Ya intinya so complicated banget alasan dia. Dia nuduh gue udah nggak sayang lah, main perempuan lah, nggak ngertiin dia lah, dan segambreng alasan lain yang. Well, itu bener semua. Emang sejak kapan gue sayang dia? Realizing that she does exist aja udah untung. Kalau Monika nggak ngingetin udah lupa kali gue. Main perempuan? Ya dulu kan? Sekarang cuma satu perempuan yang gue jaga, nggak pake main-main. Dua deng yang gue jaga, nyokap gue. Dan yang terakhir, nggak ngertiin dia? For what? We're not in relationship yang harus melakukan itu gitu loh.

"Aku nggak bisa putus sama kamu. Kenapa sih nggak coba ngertiin aku, Bi?" gini nih ciri-ciri perempuan nggak elit.

"Berisik lo ah. Pintu keluar sebelah sana. Gue mau kerja." Ujar gue acuh tak acuh.

"Gila ya kamu!"

"EMANG!" gue jawab gitu aja sekalian.

"Setahun ini kita pacaran dan cuma berakhir begini?" Drama kan? Ini dia menang awards apa sih?

Gue hanya manggut-manggut nggak jelas.

"Pasti ada wanita lain kan? Jawab Abi!" Teriak Retta.

"Ret, lo masih mau ngamuk-ngamuk nggak jelas? Ini kantor gue dan gue berhak ngusir lo bahkan nyeret lo, kapanpun lo teriak lagi." Gue mulai jengah. Ini otak gue lagi ngebul ting-ting begini, dan wanita sinting ini dateng ngamuk-ngamuk.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADWhere stories live. Discover now