(12) Abi: I'm Ready to Fight

19.8K 2.4K 128
                                    

Wanita ini akhirnya terduduk dalam dekapan gue. Setelah air matanya ia habiskan untuk menangisi nasibnya, ia pun lelah. Tertidur di pelukan gue merupakan satu-satunya langkah permintaan gue yang tak dapat ia bantah. Gue tersenyum melihat bagaimana napasnya naik turun disandaran dada gue.

Sedari tadi Tisa menangis, gue memikirkan banyak hal. Penyebab ia jatuh sakit pastinya karena pertengkaran dengan sang bunda seminggu ini. Gue tak sampai hati saat mengetahui bahwa gue juga turut andil dalam kesedihannya itu. Sampai akhirnya terbesit dalam hati, apakah perasaan gue cukup untuk mengubur rasa sedihnya? Apakah jika Tisa terbangun nanti, mampu menerima pernyataan bahwa gue menyimpan rasa yang cukup untuknya? Karena sepertinya hati gue terlanjur paham, bahwa bukan ini waktunya.

Memenangkan hati Tisa bukan perkara yang mudah. Terlebih ia telah memupuk rasa benci yang mendalam buat gue. Namun melihatnya terluka seperti ini, hati gue juga ikut terluka. Demi apapun, gue gak pernah bisa lihat orang yang gue cintai menangis. Eh tunggu? Tadi apa? Orang yang gue cintai? Eeerrrr, belum mungkin ya, gue baru akan mencoba mencintai.

Pukul sebelas malam, Mbak Ana pulang ke apartemen. Bersama kakak gue. Buset dah, ini calon manten bukan diem-diem ae dirumah, malah keluyuran sampe malem.

Gue memberi isyarat dengan jari pada Mbak Ana dan Mas Adit untuk tidak berisik. Tisa terlelap di pelukan gue saat ini, dan gue enggan menghancurkan momen paling langka ini. Mbak Ana dan Mas Adit kaget saat melihat posisi gue dan Tisa, namun mereka tak banyak bertanya.

'D-i-a t-i-d-u-r?' Ana berbicara tanpa suara, bertanya pada gue. Gue hanya mampu menjawab dengan anggukan.

Mata gue rasanya mulai berat. Ingin ikut terpejam. Gimana nggak berat, dua minggu lebih gue hampir gila karena ini bocah. Andai deketin lo semudah nge-install spotify Tis, udah joget jaran goyang gue sekarang.

"Lo kalau capek tidur aja sekalian, Bi." Mbak Ana tiba-tiba sudah berada dibelakang sofa dan berbisik pada gue.

"Iya Mbak, ntaran." Jawab gue.

Mas Adit menatap gue dengan penuh selidik. Mungkin dia bahagia sudah menemukan jokes receh untuk menghina gue.

Belum sempat gue mencoba memejamkan mata, ponsel Tisa berdering. Tisa menyadari hal tersebut dan langsung melepaskan diri dari pelukan gue. Itu yang nelfon pengen gue maki deh, ngerusak momen romantis orang aja.

"Hah!!" Tisa menjerit seketika, sesaat setelah menyambungkan panggilan.

"Gak mungkin!" air mata kembali mengalir jatuh di pipinya. Ada apa ini?

Gue panik, hanya bisa mengusap-usap bahunya.

Mbak Ana yang mendengar Tisa menjerit, langsung keluar dari kamarnya. Begitupun Mas Adit yang sedari tadi berada di sofa yang sama dengan gue dan Tisa, juga terlonjak kaget.

"Yaudah dimana sekarang? Pokonya bunda harus sadar!" Tisa memekik sebelum akhirnya menutup panggilan.

"Tis kenapa?" Ana yang panik langsung bertanya pada Tisa.

"Bunda Na, bunda kena serangan jantung." Tisa menangis tersedu-sedu dalam pelukan Ana. Gue kaget bukan main.

"Dibawa kemana, Tis?" Adit bertanya.

"Rumah sakit lo. Ayok Na, Dit, kesana. Anterin gue!!" Tisa meraung-raung. Bahkan dalam raungannya pun tak terucap nama gue.

"Bentar." Adit kemudian sibuk dengan ponselnya.

"Lagi dijalan, gue kudu nyetir sendiri kayaknya. Emergency call soalnya, takut kalian panik kalau gue nyetir kesetanan." Ujar Adit setelah mengakhiri panggilan yang gue tahu dari rumah sakit.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADWhere stories live. Discover now