(7) Tisa: What am I doing?

22.3K 2.6K 81
                                    

Setelah kunjungan gue dan Abi ke rumah orang tuanya kemarin, gue mendadak bimbang. Bimbang dengan keadaan yang tiba-tiba seperti ini. Semua kejadian ini berlangsung tiba-tiba. Ibarat perang, gue tidak menyiapkan senjata apapun untuk bertempur.

Sambutan dari mamanya Abi sangatlah baik. Sebaik itu dan gue nggak sampai hati untuk mengecewakan beliau. Ketika mamanya Abi memanggil gue dengan sebutan Nduk, saja sudah membuat gue ketar-ketir. Hati gue bergemuruh, namun juga tenang. Itu panggilan tersayang dari orang tua untuk anak perempuannya. Dan panggilan itu yang mamanya Abi berikan untuk gue, begitupun ke Ana yang memang sudah jelas calon menantunya.

Tadi malam saat gue pulang bersama Abi, ingin rasanya mengakhiri kepura-puraan ini. Gue bermaksud menutup seluruh akses gue dan Abi untuk bertemu, membiarkan orangtua kita bertanya tentang hubungan yang ntah juntrungannya kemana ini, dan tidak usah ada lagi obrolan-obrolan tidak penting suatu hari nanti. Namun gue merasa gamang. Alih-alih ingin meluruskan seluruh keadaan yang ada, gue malah diam saja selama perjalanan. Abi pun begitu.

Sampai pagi ini, gue masih gegoleran dikasur. Berharap gue punya jawaban-jawaban cerdas untuk menghentikan semua permainan aneh ini. Namun hasilnya nol besar.

Bukan gue meremehkan Abi, hanya saja Abi terlalu sempurna di mata gue. Terlepas dari attitude minus yang dia punya. Tapi c'mon, gue masih sadar. Secara fisik Abi merupakan pria idaman wanita-wanita yang haus belaian diluaran sana, apalagi secara dompet, uangnya nggak habis-habis keluar dari ATM-nya. Karirnya bukan lagi cungpret kayak gue gini, which is dia bisa dong harusnya gaet wanita-wanita sosialita diluar sana.

Dan satu hal yang membebani gue, usia Abi beda usia satu tahun dibawah gue. Gue udah pernah bilang kan, kalau sampai kapanpun menjalani hubungan dengan pria yang usianya dibawah kita itu nggak akan berjalan mulus. Dan gue rasa ini bukan awalan yang baik untuk gue maupun Abi jika kita benar-benar ingin menjalani kepura-puraan ini hingga akhir.

Gue juga bukan wanita yang pandai bermain peran. Apabila gue sudah sayang dengan orang, hal itu nggak bisa gue definisikan dalam kepura-puraan. Dalam hal ini, sejak pertama kali bertemu dengan mamanya Abi, gue sayang dengan sosok paruh baya itu. Mamanya Abi mirip Bunda, penyayang sekaligus protektif ke anaknya. Gue awalnya mikir karena Mamanya Abi nggak punya anak perempuan jadi ketika dapat calon menantu perempuan kayak Ana, sayangnya setengah mati, namun ternyata tidak hanya itu. Mamanya Abi juga menaruh harapan tinggi tentang hubungan anak-anaknya.

"Tisa suka garang asem nggak sayang? Mama masak ituloh hari ini. Tuh Ana udah ngabisin dua bungkus, awas kamu kehabisan ya." ujar mamanya Abi waktu itu, saat pertama kali gue dibawa masuk ke dapurnya bersama Ana.

Gue melihat Ana yang sangat akrab sekali dengan mama, dan gue turut merasakannya setelah satu hari itu berada dirumah tersebut. Diawalnya, gue nggak cukup pede untuk menghadapi ini, namun sikap terbuka beliau inilah yang membuat gue jatuh hati.

"Tisa kerjanya sama kayak Ana? Wah nanti mantu Mama kerjanya di TV semua dong ya." ujarnya sambil berkelakar waktu itu.

Ana dan gue tertawa. Jujur gue sangat bahagia menghabiskan waktu gue hari itu di Bogor. Papanya Abi juga sangat baik, banyak bertanya seputar keluarga dan pekerjaan ayah dan bunda. Namun perlu digarisbawahi, hanya dengan orangtuanya saja gue merasa bahagia dan damai, tidak dengan anaknya.

***

Senin!

I hate Monday like all corporate slave do. Kerjaan numpuk dan daftar talent yang diminta Mas Aksa kemarin belum gue rekap. Tak terbayang harus sampai jam berapa gue lembur malam ini.

"Mau lembur, Tis?" tanya Ana saat gue lihat ia baru saja akan membereskan mejanya.

"Iya nih, masih banyak yang belum kelar." Ujar gue dengan gaya pulpen diapit ditelinga dan mengunyah silverqueen, coklat seharga ceban itu.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADWhere stories live. Discover now