(10) Abi: Hopefully, I Know You Better

22.2K 2.6K 124
                                    

Gue memarkirkan mobil seperti biasa di basement tower kantor. Muka sayu dan kuyu gue menyambut orang-orang yang masuk ke tower daerah Setiabudi ini. Satpam di lobi pun mengerutkan keningnya saat melihat penampakan wajah gue yang kayak zombie.

"Mas Abi nggak apa-apa?" tanya Pak Basri, satpam tower gue.

"Emang saya kenapa, Pak?" tanya gue.

"Itu muka kok kuyu banget? Sakit, Mas?" Pak Basri khawatir ke gue.

"Oh, nggak Pak. Saya hanya kurang tidur saja. Mari Pak, saya ke atas dulu." Gue pamit dari hadapan Pak Basri.

"Tidur yang cukup, Mas. Jangan kebanyakan mikirin ceweknya." Pak Basri terkikik dibelakang gue.

Gue hanya tersenyum datar dan berlalu meninggalkan Pak Basri.

Masuk ke kantor juga tak membuat pikiran gue pulih. Justru semakin menyakitkan, karena pagi dimana Tisa mencecar gue dengan berbagai pernyataan itu, seakan berputar kembali. Iya, Tisa. Wanita yang dengan kurang ajarnya membuat gue kliyengan selama dua minggu ini.

Entah kenapa sejak kepergiannya saat itu, gue nelangsa. Pernyataan Tisa kala itu menohok hati gue teramat sangat. Dengan berat hati gue mengakui, gue kehilangan.

Dua minggu gue habiskan dengan memikirkan bagaimana caranya bisa berbicara lagi dengan Tisa. Seluruh kontak yang gue punya diblokir, sampai sosial media gue. Padahal follow-follow-an aja belum. Begitu bencinya dia sama gue sampai stalking cuma buat ngeblokir.

Asisten gue tiba-tiba masuk, si Monika itu. Mari kita mulai hari dengan mendengarkan mulut pedasnya itu beraksi.

"Pagi boskuh, Monika Natawijaya akan memaparkan kegiatan bos Abizar yang dua minggu ini mukanya busuk kayak mangga jatoh trus dibenem di tanah." cerocos si Monika. 

Lihat deh, bosnya sendiri dikatain manga busuk. Kurang ajar!

"Jam sepuluh pagi ini, kita ke Senayan City ya Bos. Cek toko."

"Jam satu siang ada lunch sama Mr. Richard yang dari Malaysia buat bahas rencana ekspan kita ke sana."

"Hmmm, ini jam lima sore harusnya sih kosong. Tapi tadi Bu Retta nelfon gue, mau ketemu Bos. Iyain gak?" tanya Monika setelah ia memaparkan jadwal gue.

"Retta siapa?" tanya gue lesu. Entah lah itu si Retta siapa lagi.

"Ini otak lo ketinggalan dimana sih, Bos? Ituloh pacar lo. Yang designer ituuuu, yang habis pameran di Bali." Jelas Monika langsung di hadapan wajah gue.

"Oh." Gue hanya menjawab singkat.

Dan sialnya, asisten gue yang naudzubillah bar bar nya ini, langsung menoyor kepala gue saat gue sedang melamun. Pusing gue, banyak banget yang harus dipikirin, terutama Tisa. Kan Tisa lagi.

"Apaan sih, Nik?" gue mulai kesal dengan Monika. Padahal biasanya gue juga adu-aduan sama Monika mah fine aja. Bukan adu desah loh ya, bukan.

"Lo dengerin gue gak sih, Bos? Ini pacar lo mau diiyain apa nggak?" tanya Monika sebal.

"Gausah, gue pusing." Jawab gue yang dibalas dengan hembusan napas Monika.

"Ah, mati ini gue dijambak lagi sama pacar lo." Ujarnya yang disusul dengan langkah kakinya keluar dari ruangan gue.

Gue menghela napas pendek. Bangkit dari kursi kebesaran gue, menuju sofa bed. Tempat dimana gue menghabiskan hari terakhir bersama Tisa. Ini gue ngomong kayak Tisa udah nggak ada ya? Ya Allah mit amit, gue belum menggali perasaan lebih dalam loh ini, jangan ambil Tisa dulu.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADWhere stories live. Discover now