"Bentar lagi lah. Aku masih mau liat-liat aksesoris dulu. Kalau sreg, mau aku belikan buat Naya. Biarin aja bapak-bapak itu ngurusin anak-anak, sementara kita para wanita berhak menikmati waktu santai kita." tolak Vania yang kembali meneruskan langkah.

                                                         
Ira pun setengah hati harus kembali mengiringi langkah wanita bersahaja di samping. Karena meski lebih tua, wanita berhijab di sampingnya ini adalah adik dari suaminya. Jadi tidak mungkin Ira memilih pulang sementara wanita itu ia biarkan berjalan sendirian tanpa teman.

Setelah beberapa waktu berlalu dan barang yang diinginkan sudah dibeli, baik Vania maupun Ira memutuskan untuk beristirahat di salah satu restoran sambil melepas penat juga mengisi perut mereka yang terasa kosong akibat aktivitas berbelanja mereka yang menyita banyak waktu.

Saat sedang asyik menikmati hidangan yang mereka pesan, tanpa disadari telah berdiri seseorang di samping meja mereka. Tersenyum penuh arti kepada mereka berdua dan memutuskan untuk menyapa.

"Akhirnya kita bertemu lagi, nona Vania."

Sontak saja sang empunya nama menoleh ke arah samping. Matanya memincing penuh penilaian sekaligus mencoba mengenali siapakah sosok pria yang kini menatap ia dan Ira bergantian.

Tapi tunggu dulu, setelah Vania perhatikan dengan lebih seksama lagi, sosok pria yang tadi menyapanya itu bukanlah memperhatikan mereka berdua, melainkan lebih kepada Ira yang masih makan sambil membalas pesan dari kakaknya yang super posessif. Hah... tanpa sadar Vania menghembuskan napas kasar saat memahami makna di balik tatapan pria yang Vania kenali sebagai salah satu donatur di sekolah tempat ia mengajar. Seketika saja hembusan napas Vania yang terdengar cukup keras membuat ibu muda yang duduk di dekat dinding menoleh seraya memberikan pandangan penuh tanya padanya.

                                                          "Nggak apa-apa, Ra, kamu terusin aja makannya. Sama itu tuh, jangan sampai telat ngebalas pesannya mas Nara, ntar dia cemasnya berlebihan kalau nggak dengar kabarmu. Yang ada kalau pesannya nggak dibalas, bisa-bisa mas Nara nyuruh pak Maman nyusulin kita lagi."

Ira hanya mengangguk sebagai respon tanpa menyadari jika ada sepasang mata yang sedari tadi terus memperhatikan setiap gerak-geriknya.

Sedangkan Vania sendiri langsung memajukan sedikit badannya untuk menghalangi pandangan pria berusia matang yang masih setia berdiri di samping meja.

"Maaf pak Yudha, bapak ada perlu ya sama saya sampai menghampiri meja saya?" tanya Vania mencoba mengalihkan pandangan penuh hasrat pria bernama Yudha tersebut terhadap kakak iparnya.

"Oh iya nona... maaf kalau saya ganggu. Sebenarnya sih tidak ada perlu apa-apa, cuma sekedar nyapa anda saja."

"Oh." sahut Vania enggan menanggapi lebih jauh.

Tapi rupanya pria bernama Yudha itu belum selesai berbicara, karena sedetik kemudian pria itu tersebut kembali berkata, "Boleh saya bergabung satu meja dengan kalian?"

Walau terdengar sopan hingga Vania jadi tidak enak hati dibuatnya, namun dengan tegas Vania menggelengkan kepala. "Maaf sebelumnya pak, bukannya maksud saya berlaku tidak sopan. Tapi tidak pantas rasanya kalau bapak bergabung di meja kami. Selain karena tidak ingin menimbulkan fitnah, saya juga sudah mendapat amanah dari saudara saya untuk menjaga istrinya dari interaksi dengan lelaki lain sekecil apapun itu. Jadi saya harap bapak memakluminya."

Pria yang masih berdiri di samping meja tersebut mengangguk mengerti, meski matanya masih menatap penuh arti kepada sosok Ira yang terlihat acuh terhadap suasana sekitar. Setelah memberikan satu senyum simpul pria berusia matang itu akhirnya berlalu pergi meninggalkan meja yang ditempati oleh Vania yang langsung menghembuskan napas lega dan juga kakak iparnya yang tak juga menyadari suasana tak mengenakan di sekitar mereka.

Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Where stories live. Discover now