11.b

3.2K 498 24
                                    

Defara duduk dengan gelisah sambil meremas jemari tangannya. Sedari 20 menit yang lalu entah berapa kali Defara menghembuskan napas kasar sembari menatap pintu restoran yang siang ini ia datangi. Pasalnya, dalam hati kerap kali keraguan selalu mendominasi bahwa Kevan tidak akan datang untuk menemuinya.

Dari seberang tempat duduknya dengan jarak dua meja, Defara bisa melihat ada Sasa di sana yang memberikan senyum semangat sebagai bentuk dukungan.

Jika bukan karena dukungan juga saran dari Sasa, serta keinginan dari sudut hatinya yang terdalam, Defara tentu tidak akan berani untuk bertatap muka lagi dengan pria yang pernah mengisi kenangan di masa lalunya tersebut. Ya, walau dengan sangat terpaksa Defara mengakui bahwa kenangan yang ada bukanlah kenangan yang indah dan semua kenangan yang tidak indah tersebut tentu saja semuanya bersumber dari Defara sendiri.

Sambil menunggu dalam ketikpastian, Defara kembali mengingat lagi isi percakapannya dengan Sasa sehari setelah ia mendapat malu dari sosok pria yang entah bagaimana mengetahui dengan jelas seluk beluk kehidupannya.

Kilas balik;

Defara yang masih dalam keadaan sedikit linglung, menurut saja saat Sasa membawanya ke apartemen wanita itu. Sesampainya di sana, Defara masih bagaikan mayat hidup untuk beberapa waktu dan baru mulai terlihat membaik setelah ia bangun dari tidurnya yang tidak terlalu lelap.

Saat berjalan keluar dari satu-satunya kamar di apartemen Sasa, Defara bisa melihat seluruh lampu yang menyala yang menandakan jika tugas matahari telah digantikan oleh rembulan. Dari suara ribut yang berasal dari arah dapur, Defara menyakini jika temannya itu sedang berada di sana dan memutuskan ke sanalah arah kakinya melangkah. Benar saja, dilihatnya Sasa sedang sibuk entah memasak apa hingga tidak menyadari kehadirannya. Untuk wanita dengan bebas dan semaunya sendiri, Defara akui jika masakan temannya itu lumayan enak, malahan melebihi masakannya sendiri.

"Lagi masak apa, Sa?" tegur Defara.

Sontak saja spatula yang di pegang Sasa jatuh ke lantai yang menimbulkan suara keras saking kagetnya ia. Dengan kesal Sasa membalik badan sambil berkacak pinggang dan berkata, "Jangan ngagetin gitu, Def! Kalau aku mati jantungan kayak ibu kamu gimana?" tanya Sasa yang langsung disesalinya saat melihat wajah Defara yang berubah sendu.

"Maaf... " cicit Sasa tak enak hati.

Defara menggeleng pelan, "Nggak pa-pa, kamu nggak salah. Yang salah justru aku, anak nggak tau diri dan durhaka."

Sasa mematikan kompor lalu kemudian menghampiri Defara, mengajak temannya itu ke ruang tamu untuk duduk dan mengobrol di sana. "Yang lalu nggak usah lagi diingat."

"Aku tau," sahut Defara lirih yang entah mengapa saat sedang sangat sedih seperti ini air matanya enggan mengalir keluar dari kedua bola matanya. Terkadang Defara meyakini jika hatinya memang telah membatu.

Keheningan yang tidak menyenangkan sempat melingkupi mereka, sampai pertanyaan Sasa membuat Defara mengangkat kepalanya yang tertunduk demi menatap temannya itu.

"Eh Def... waktu kamu menjalin hubungan dengan Kevan, pernah nggak kamu merasakan sesuatu di hati kamu untuknya?"

"Maksud kamu apa, Sa?"

"Nggak mungkin kan selama lebih dari empat tahun, nggak ada rasa sedikitpun di hati kamu untuknya?" cerca Sasa lagi mengindahkan kebingungan Defara.

Meski bingung, Defara tetap menjawab, "Jujur, kalau rasa cinta sepertinya nggak ada. Tapi kalau rasa ketergantungan akan perhatian dia yang selalu manjain aku, aku memang merasakannya."

"Nah... kenapa nggak kamu coba aja lagi dekatin dia. Menurut kabar burung yang aku dengar, Kevan itu sampai sekarang belum menikah. Mungkin aja kan dia masih patah hati karena kamu, trus nungguin kamu kembali." saran Sasa yang ia sendiripun kurang yakin dengan perkataannya.

Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang