9.b

4.5K 506 9
                                    

Suasana kembali tenang. Setelah adegan Hermanu yang berlutut memohon maaf, keluarga Aaraju yang merasa tidak enak hati pada akhirnya bersedia duduk untuk berembuk demi mencari penyelesaian dari pokok permasalahan yang ada. Alva sendiri lebih memilih keluar, menelpon calon istrinya demi mencari sedikit ketenangan agar tidak perlu melihat wajah Kevan yang ujung-ujungnya bisa membuat ia emosi kembali, serta membiarkan ayahnya dan juga Nara yang mengambil keputusan.


"Maaf... " ucap Kevan dengan kepala tertunduk.

Meski tubuhnya terasa remuk redam, di mulutnya juga masih menyisakan rasa amis karena sisa darah, Kevan bersikeras kembali duduk di tempat semula ditemani Arlita yang meski kecewa setelah tahu apa yang dilakukan anaknya, namun kasih sayangnya sebagai seorang ibu membuat Arlita ikut duduk di samping anaknya, demi memberikan dukungan.

"Vania salah apa sama kamu, Kev?"

Suara Nara yang tenang membuat kepala Kevan semakin tertunduk malu. Ia yang biasanya sangat berani menantang tatapan orang yang terarah padanya meskipun ia yang bersalah justru kini tak berani mengangkat kepala. Malu dan menyesal semakin merajai hati Kevan, bukan hanya karena kesalahan yang dilakukan kepada sahabatnya tersebut tetapi juga untuk kesalahan yang ia lakukan terhadap adik dari sahabatnya itu.

Usapan lembut di punggungnya memaksa Kevan mengangkat kepala dan menoleh ke samping, kepada ibunya yang tidak berhenti mengeluarkan air mata namun masih memberikan senyuman tulus padanya. Juga mau tidak mau mata Kevan ikut melirik ke arah sosok ayahnya yang tertunduk. Masih jelas di ingatannya betapa ayahnya tadi bersedia berlutut memohon maaf untuknya.

Meski amarah masih ada, tak bisa Kevan pungkiri bahwa setitik rasa bangga juga sayang kini menghuni sudut hatinya yang dulu kosong karena kekecewaan yang disebabkan oleh ayahnya itu.

"Mau bicara sekarang, atau kita sudahi saja pertemuan yang tidak menghasilkan apapun ini." kali ini Ritomo yang berbicara, menyentak Kevan dari menatap nanar ayahnya.

Meneguhkan hati, Kevan menatap tiga orang di hadapannya, lalu kemudian berbicara, "Om Tomo dan juga Nara, sebelumnya saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya tau, meskipun saya minta maaf sampai mulut saya berbuih, kesalahan yang saya lakukan tetap tidak bisa dibenarkan."

Berhenti lagi, Kevan menatap satu persatu dua sosok pria juga seorang wanita yang menatap lembut padanya, tanpa ada sorot mencela ataupun menghakimi. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Kevan yakin jika dari sosok wanita muda yang telah menyandang gelar ibu itulah semua niatnya bisa berjalan dengan baik. Maka ia pun kembali berkata, "Tapi saya mohon, tolong dengarkan penjelasan saya! Bukan untuk pembenaran, tapi setidaknya dari penjelasan saya nanti, saya berharap adanya sedikit saja maaf yang bisa saya dapatkan dari kalian semua."

Reaksi dari dua pria di depannya hanya diam, namun terlihat sangat jelas jika mereka memberikan kesempatan bagi Kevan untuk menjelaskan.

"Saya ingin mengakui, bahwa semua kebiasaan buruk yang saya lakukan kepada setiap wanita selama ini berasal dari dendam pribadi saya kepada seseorang di masa lalu," kepala Hermanu tertunduk semakin dalam saat menyadari ada andil dirinya dalam perilaku buruk anak semata wayangnya itu.

"Katakanlah pada saat itu saya masih bodoh dalam hal cinta, sehingga melihat seorang wanita yang begitu baik hati menolong nenek-nenek menyebrang jalan sudah membuat saya tertarik. Apalagi wajah polos serta lugu yang dimiliki wanita tersebut mampu membuat rasa tertarik saya dengan cepat berubah jadi cinta," Kevan menarik napas kasar, berat rasanya jika harus menggali kembali luka lama. "Tanpa memerlukan waktu yang lama saya sudah menjadikan dia kekasih, lalu setelah hampir empat tahun menjalin kasih, saya mengikat wanita itu dengan tali pertunangan. Tapi, baru dua hari saya menyematkan cincin di jari manisnya, dia... "

Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Where stories live. Discover now