15

4.2K 608 65
                                    

Akhirnya target vote dan komennya terpenuhi juga. Biarpun nggak semua pembaca yang ninggalin jejaknya dan hanya beberapa pembaca aja yang bahkan sampai berulang kali nulis komen, saya tetap senang. Karena itu ngebuktiin seberapa besar keinginan pembaca setia saya untuk ngebaca cerita yang saya tulis. Berat ya buat menuhin targetnya?

Okelah, nggak usah baca cingcong lagi. Buat bab depan, saya 230 vote dan 58 komen. Nggak berat, kan? Nggak dong pastinya, lah pembaca yang mampir ke lapak saya kan juga lumayan lah ya. Segitu aja, selamat membaca dan semoga coretan saya bisa tetap selalu menghibur kalian semua.

Tubuh ringkih tanpa sehelai benangpun yang menutupinya masih tergeletak di sana, di atas ranjang yang terlihat berantakan. Sementara di sisi ranjang di bagian kirinya, duduk sosok lain yang masih setia mengelus rambutnya sejak beberapa menit yang lalu.

Terlihat sesekali bibir yang masih menyisakan jejak darah di sudutnya tersebut meringis sakit, namun tak ada satupun suara yang keluar dari mulutnya. Mata si pemilik bibir yang terluka itu hanya dapat menatap nanar sosok pria paruh baya yang masih masih gagah di usia senjanya, masih setia mengelus rambut hitam panjangnya, memohon belas kasihan sedikit saja untuk sejenak membiarkan ia bernapas diantara rasa sakit yang mendera.

"Kau masih berpikiran untuk mengkhianatiku, sayang?" pertanyaan yang disertai nada suara mendayu tersebut berbanding terbalik dengan cengkraman erat di rambut yang tadi dielusnya sayang.

Sontak saja kepala dengan rambut hitam panjang bergelombang tersebut menggeleng pelan. Seakan tak ada lagi tenaga hanya untuk sekedar mengeluarkan kata 'tidak'.

"Bagus!" sosok pria yang masih terlihat gagah di usia senja itu menyahut puas, sementara tangannya masih setia mengelus rambut panjang si 'penghangat ranjangnya', "Kau pasti tau apa resiko yang akan kau tanggung jika sekali lagi kau mencoba untuk mengkhianatiku. Bukannya hanya siksa fisik yang akan kau dapatkan, tapi juga kau tidak akan bisa membayangkan hal apa yang bisa aku lakukan untuk menyiksamu melalui putrimu!" tandasnya penuh ancaman, lalu sesaat kemudian kembali menambahkan, "Oops... aku salah, bukan putrimu melainkan putri 'kita'.

Kembali sosok tak berdaya tersebut menggeleng lemah, diantara kelemahan yang merajai seluruh tubuhnya, sosok itu memaksa untuk berbicara dan hanya satu kata yang bisa ia ucapkan, "Jangan!"


Pria paruh baya itupun mengangguk khidmat, "Kalau begitu tetaplah jadi bonekaku yang penurut. Lakukan apapun yang aku inginkan. Jangan berbuat salah terutama berkhianat. Putri 'kita' yang kau titipkan di panti asuhan dan kau berikan dana setiap bulannya untuk pengasuhan dia di sana, kini sudah ada di bawah kuasaku. Sedikit saja kau berbuat kesalahan lagi, jangan harap kau bisa melihatnya. Bahkan mungkin aku akan menanamkan pemikiran di otaknya yang masih bersih itu bahwa tante yang selama beberapa bulan belakangan ini mengunjunginya di panti asuhan adalah ibu kandungnya yang sudah tega membuang dia karena kau tidak menginginkannya sebagai anakmu. Dan aku akan menambahkan 'bumbu penyedap' di dalamnya. Jadi bisa kau bayangkan, apa reaksinya setelah mengetahui semua itu?"

Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Where stories live. Discover now