6

4.6K 507 6
                                    

Hasil dari percakapan mereka di dapur belum menghasilkan keputusan apapun. Vania tetap teguh dengan pendiriannya yang walaupun tidak menyimpan dendam dan amarah menolak untuk kembali, sedangkan Kevan sendiri juga menolak untuk menyerah kalah dari arena pertempuaran yang ia sendiri yang memasukinya. Dengan membuang rasa malu serta merendahkan egonya yang tinggi, Kevan menyatakan jika ia akan terus maju untuk membuat wanita itu kembali padanya. Syukur-syukur jika rasa cinta itu masih ada untuknya.

Namun perdebatan kecil yang terjadi setelah dengan mutlak dimenangkan oleh Kevan yang bersikeras mengantar Vania dan Naya ke sekolah walaupun harus berjalan kaki karena medan yang dilalui hanya merupakan jalan setapak yang tidak memungkinkan mobil lewat di sana.

Selain mengantarkan Vania, Kevan perlu usaha ektra keras membujuk Vania untuk meminjam Naya setengah hari saja dengan alasan jika ia tidak memiliki teman di lingkungan sana. Yang meski dengan tidak rela dan dilengkapi syarat yang harus Kevan patuhi, Vania pada akhirnya memberi izin Kevan membawa Naya karena anak itu juga mau ikut dengan iming-iming kue kesukaannya.

Sambil melangkah beriringan dengan sosok wanita yang kini terlihat sangat dewasa tersebut, Kevan meresapi rasa senang, juga bahagia yang membuncah, rasa syukur karena telah dipertemukan lagi dengan wanita pemilik hatinya, dan tak lupa rasa penyesalan yang sangat serta marah terhadap dirinya sendiri yang sudah menyia-nyiakan wanita itu sekian tahun lamanya. Selain itu juga ada setitik rasa gamang akan bagaimanakah akhirnya nanti kalau saja wanita di sampingnya ini menolak untuk kembali?

Sanggupkah ia kembali mengarungi jurang gelap yang dalam tanpa cahaya sedikitpun? Atau ia malah harus kembali berkumbang dengan rasa penyesalan juga patah hati yang mungkin saja menderanya kalau saja suatu saat nanti wanita itu malah bersatu dengan pria lain?

Entahlah, yang manapun dari pemikiran buruknya tersebut tidak ingin Kevan pikirkan lebih lanjut. Yang ada jika pemikiran tersebut terus berlangsung maka langkah Kevan akan terhambat.

Dan pemikiran akan hadirnya sosok pria lain dalam lingkup hidup Vania membuat Kevan bergidik ngeri sekaligus takut. Tanpa Kevan sadari, tangannya yang tidak menyangga Naya dalam gendongan mengusap belakang kepalanya.

"Kenapa, mas?"

"Kenapa apanya?" tanya Kevan balik seraya menoleh ke samping.

"Itu kayak orang merinding sambil ngusap belakang kepala gitu."

"Oh... " Kevan salah tingkah sambil mengarahkan kembali pandangannya ke depan. "Nggak pa-pa. Dingin aja soalnya belum terbiasa sama udara sejuk sekitar sini."

"Lagian siapa suruh masih pagi buta udah bertamu aja ke rumah orang sih, mas?"

Kevan menarik napas sejenak, meski tidak rela dengan panggilan barunya, namun toh Kevan tidak ingin memaksa. Asalkan Vania tidak membentangkan jarak, Kevan sudah sangat senang. "Ya mau gimana lagi, aku takutnya telat sampai rumah kamu dan kamunya udah pergi ngajar. Sekaligus pengen ngeliat lingkungan sini juga." sahut Kevan dan kembali menambahkan di dalam hati 'aku juga ingin tau, dimana tempat kamu menghabiskan banyak waktu tanpaku. Juga lingkungan yang telah membentuk bidadari kecil ini menjadi pribadi yang sangat baik'

"Di kota, emangnya mas Kevan nggak ada kerjaan apa?"

Kevan menggeleng malu, "Gimana ya bilangnya, dibilang nggak ada kerjaan tapi aku punya beberapa kafe dan restoran yang sudah beberapa tahun ini aku kelola. Tapi kafe dan restoran yang aku kelola nggak mengharuskan aku turun tangan langsung. Jadi, aku punya penghasilan meskipun yang orang liat aku kayak pengangguran."

Vania mengangguk pelan, "Tante Lita apa kabarnya?" tanya Vania mengalihkan pembicaraan.

"Baik, makin sehat dan semangat banget tiap hari ngomelin aku."

Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Where stories live. Discover now