Ia berusaha begitu keras. Tanpa kenal lelah. Semua ia lakukan agar layak mendapatkan Emerald kembali.
Ia memiliki sebuah rumah besar nan megah untuk ibu dan adik-adiknya di bilangan jakarta selatan. Bahkan memiliki penthouse pribadi di daerah menteng. Ia menyekolahkan kedua adiknya di luar negeri. Hanya si bungsu yang ada di jakarta sekarang menemani sang ibu.

"Aku tahu, bu." Jawabnya pada sang ibu.

"Kenapa kau tidak menemuinya lagi sekarang?"

"Belum saatnya bu."
"Aku harus menggeser posisi Arch.corp dan SUNY.corp juga untuk bisa bersama Emerald. Ini janjiku." Jawabnya dalam hati pada pertanyaan sang ibu. Sementara ibunya melihat Daffa dengan sedih. Melihat putra semata wayangnya begitu haus status dan kekuasaan sekarang. Hanya untuk berada di samping wanita yang dicintainya.

***

Tok.tok.

"Makan, bos?" Tanya Ferdi dengan hanya memperlihatkan kepalanya dari balik pintu.

"Ya. Sebentar lagi. Masuklah dulu. Aku tak akan menyuruhmu makan duluan karena aku tak ingin makan sendiri." Jawab Daffa tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer.

"Siap, bos."

Beginilah keadaan mereka saat istirahat. Pada saat membangun bisnisnya, Daffa sudah menunjuk Ferdi untuk membantunya sebagai orang kepercayaannya karena Ferdi orang yang cerdas dan cekatan dalam bekerja. Semua usaha yang ia lakukan selama inipun tidak akan selancar ini bila bukan Ferdi yang membantu. Sehingga Ferdi mendapat posisi sebagai general manager di perusahaannya kini.

"Gini nih kalau punya bos jomblo akut. Kemana-mana gua yang nemenin. Lu gak takut dibilang sama karyawan lu kalau lu gay?" Ocehnya setelah menghempaskan tubuhnya ke sofa.

"Bodo amat." Daffa memang tidak peduli apa kata orang yang kerap berbicara di belakangnya.

"Dia gay."

"Dia trauma perempuan."

"Dia tidak mampu 'berdiri'."

"Dia dapat kutukan dari cinta pertamanya."

Begitulah yang selama ini di dengarnya. Dia mendengar itupun dari Ferdi. Namun hanya dianggap angin lalu olehnya. Sama seperti ocehan Ferdi saat ini.

"Bagaimana aku bisa dapat pacar kalau seisi kantor membicarakan 'hubungan' ku denganmu. Mendengarnya saja membuatku merinding." Daffa tahu Ferdi hanya bercanda karena Ferdi bukan tipikal laki-laki yang mudah jatuh cinta atau menebar cinta. Sampai detik ini Daffa belum pernah mendengar Ferdi membicarakan wanita secara spesifik. Mungkin belum ada yang menarik perhatiannya.

"Maaf kalau begitu. Bagaimana kalau aku mentraktirmu makan di restaurant kesukaanmu sebagai wujud rasa bersalahku?" Jawab Daffa setelah 'menyimpan' filenya dan 'menidurkan' komputernya.

"Deal!" Jawabnya langsung sambil mengacungkan kedua jempolnya pada Daffa.

***

"Jadi katakan, dimana kamu ingin magang?" Tanya Danny pada Emma di hadapannya yang sedang sibuk memotong tenderloin steak nya.

"Tidak tahu. Aku, Nadia dan Wina berencana mengundinya." Jawabnya acuh.

"Mengundinya?"

"Yap. Seperti arisan. Kami menuliskan beberapa nama perusahaan lalu menaruhnya dalam guci lalu mengambilnya secara acak."

"Kau kira ini permainan?" Kata Danny tak percaya.

"Aku tahu, Danny. Ini memang bukan lelucon. Tapi aku juga sedang bingung. Papa menyuruh kami untuk magang di SUNY. Bertiga! Nadia dan Wina sih dengan senang hati menerimanya. Tapi aku? Pasti para karyawan akan berdumel dibelakang kami nantinya. Aku tidak suka. Itukan bakal jadi calon perusahaanku. Aku tak ingin dapat pandangan buruk dari mereka. Lagipula aku ingin benar-benar belajar. Dan tidak ingin belajar di kandangku sendiri." Terang Emma.

"Kalau begitu, melamarlah di perusahaanku." Tawar Danny.

"Big no! Aku kesana hampir setiap hari dan melengang kesana-kemari sesuka hati layaknya taman bermain dan sekarang kau menjadikanku sebagai anak trainee disana? Itu bahkan lebih buruk dari kandang sendiri." Jawab Emma sambil menggeleng tidak setuju.

Danny mengusap wajahnya kasar. Namun berusaha tetap tenang. Emma selalu punya cukup alasan untuk menolaknya. Begitupun kali ini.

"Lalu, apa saja pilihan yang kalian ambil?"

"Chander, Dwijaya, Akiesera, Sedayu, Borkhan......" Ucapnya menggantung sebelum melanjutkan "...... Green Stone." Sambil melirik dengan waspada ke arah Danny.

"Itu hanya pilihan Danny. Dengarkan aku. Aku tahu Wina dan Nadia akan memasukkan Arch dan SUNY juga ke dalam list tanpa sepengetahuanku. Karena kami sudah melakukan tanda tangan kontrak dan harus membayar denda yang tidak sedikit kalau kami menolak. Bahkan kami akan melakukannya di depan dosen dan  penasihat hukum masing-masing keluarga. Bayangkan? betapa serius dan konyolnya mereka. Dan aku akan menjadi yang pertama mengambil lot. Jadi bisa kamu bayangkan kecilnya kemungkinan itu aku akan memilih perusahaan itu?" Jelas Emma sebelum Danny sempat berkomentar jauh.

"Ya. Seperdelapan. Sekitar 12,5%. Itu angka yang sangat cukup untuk menguasai pasar."

Emma seperti menelan kembali kata-kata yang ingin ia keluarkan tadi. Memutar matanya jengah.

"Aku membicarakan peluang dengan matematika dasar, Dan. Bukan dengan pasar saham." Tak ada kata yang keluar dari keduanya. Hanya saling menatap satu sama lain. Berusaha untuk saling mengirim pemikirannya agar dapat sepemahaman.

"Kumohon percaya padaku. Sudah satu tahun lebih berlalu Danny. Dia sudah bukan siapa-siapa lagi. Aku mengajakmu makan siang diluar seperti ini agar bisa bicara dengan leluasa tanpa dilihat karyawan dikantormu. Aku sedang berusaha menjaga sikap. Karena siapa tahu saja lot ku bertuliskan perusahaanmu." Emma berusaha menenangkan Danny yang mulai protektif padanya dengan mengusap punggung tangannya lembut.

Danny menghembuskan nafas pasrah ketika Emma menyunggingkan senyum yang selalu berhasil membuatnya lemah. Dia tidak akan pernah menang dari senyuman itu. Namun Danny tidak keberatan. Dia justru ingin menjaga senyum itu tidak hilang dari wajah cantik Emma.

"Baiklah. Tapi aku juga ingin hadir saat kau mengambil lot." Kata Danny akhirnya.

"Call." Jawab Emma menjabat tangan Daffa dengan kedua tangannya. Emma tertawa senang melihat Danny yang kembali tersenyum melihatnya. Sementara tidak jauh dari tempatnya, sepasang mata sedang mengamati pasangan kekasih itu dari balik partisi kayu. Sehingga tak seorangpun yang menyadari kalau mereka sedang diperhatikan. Sepasang mata itu melihat tawa Emma dengan tatapan nanar. Tawa yang sudah lama sekali tak dilihatnya. Dan tawa itu bukan untuknya. Tawa itu bukan lagi miliknya.
Betapa perihnya menahan rindu yang begitu lama menetap dalam hati.
Melihatnya kini bahagia dengan orang lain membuatnya gemetar. Ingin rasanya ia berlari kesana dan menarik wanitanya itu kedalam pelukannya. Namun ia sadar. Ia tak berdaya. Ia belum berhak. Ia belum cukup kuat untuk membawanya kembali ke sisinya.

"Emerald, sayangku.." Ucapnya lirih.

Only EmeraldWhere stories live. Discover now