Part 27

142K 11K 250
                                    

Kekuatan doa memang hal yang paling magical yang pernah ada di dunia ini. Saat orang lain sudah sampai pada titik tertingginya dalam usaha, maka hanya doalah satu-satunya yang bisa dia lakukan. Terdengar klise. Tapi sadarkah kita kita sering tidak sadar bahwa kita hampir selalu berdoa dalam setiap usaha yang kita lakukan?

Terjebak dalam situasi terendah apa pun, ketika kita berdoa, entah kenapa-walau hanya sekian persen-beban yang kita pikul itu berkurang. Kekuatan magis doa itulah yang sampai saat ini harus kita percayai. Tidak berbentuk, tetapi kita percaya dia ada.

Untuk kesekian kalinya, kekuatan doa menyelamatkanku dari kegelisahan yang melandaku sejak perjalanan dari bandara Achmad Yani di Semarang menuju ke kediaman Kahfi. Begitu menginjakkan kakiku di halaman rumah Kahfi tadi malam, segala kegelisahanku sirna. Yang ada malah sangat menyenangkan saat kedua orang tua Kahfi menyambutku dengan begitu hangatnya.

Suara azan Subuh membangunkanku. Tadi malam, karena kami tiba di rumah Kahfi pada pukul setengah sebelas malam, maka mama Kahfi memintaku untuk langsung beristirahat saja di kamar tamu yang sudah mereka sediakan.

Aku memang tipe perempuan yang tidak suka bangun telat. Sudah terbiasa sejak kecil.Kecuali hari libur. Maka, kuputuskan sekarang untuk langsung mandi saja di kamar mandi yang tersedia di kamar tamu ini.

Setelah menimbang-nimbang cukup lama, aku memutuskan mengenakan rok batik di bawah lutut dan kaos lengan panjang. Tidak mungkin kan aku berkeliaran di rumah ini dengan celana pendek dan tank top yang biasanya kukenakan saat aku di rumah?

Wajahku terlihat segar pagi ini. Udara di daerah rumah Kahfi tidak sepanas Jakarta. Mungkin karena Kahfi tinggal di daerah pinggir kota Semarang, sedikit lebih sejuk.

Aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar. Bunyi wajan beradu dengan spatula dari arah dapur membuatku melangkah. Sebaiknya aku melihat siapa pun yang ada disana saja.

"Selamat pagi, Tante," aku menyapa mama Kahfi yang sibuk menggoreng nasi. Sepertinya itu untuk sarapan kami. "Ada yang bisa saya bantu?"

Mama Kahfi menggeleng dengan senyum anggunnya. Dia malah memintaku untuk duduk saja di ruang makan. Jelas kutolak. Tidak sopan namanya. Walaupun tidak bisa memasak, setidaknya mencuci sayur aku bisa kok.

"Tante senang kamu bangun pagi. Jarang ditemui di zaman sekarang ini," ucap mama Kahfi. Kini kami berdiri bersisian.

"Sudah terbiasa, Tante. Tante nggak pakai pekerja rumah tangga?" tanyaku lalu ikut mencuci mentimun dan mengupasnya. Biar ada kerjaan gitu.

"Pakai. Dia datang jam delapan pagi pulang jam lima sore. Untuk urusan dapur, Tante yang handle. Om hanya mau makan masakan Tante. Sok manja", sahut mama Kahfi lalu sibuk lagi dengan nasi gorengnya.

"Kahfi sudah bangun, Tante?" tanyaku sambil celingukan ke seisi rumah. Aku tak menemukan orang lain di dalam rumah ini selain kami berdua.

Mama Kahfi memindahkan nasi gorengnya ke dalam mangkuk kaca. Dia kini menggoreng telur mata sapi. "Kahfi dan Om subuh di masjid."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Nggak salah ini pilih calon suami.

Calon suami? Ya Tuhan, ini pasti muka udah merah banget. Semoga aja mama Kahfi nggak sadar deh.

"Mungkin Renata sudah tahu, Renata ini perempuan pertama yang Kahfi bawa main ke rumah," mama Kahfi memulai ceritanya. Aku siap mendengarkan. "Selama ini Om dan Tante sudah nawarin dia untuk dikenalkan ke anak-anak teman kami. Tapi dianya nolak terus. Katanya biar cari sendiri. Sempat sih Tante dengar dia punya pacar beberapa kali, tapi saat Tante suruh bawa kesini, dia bilang, nanti-nanti saja, belum yakin. Begitu jawabannya. Padahal dia kalau pacaran cukup lama, lho. Yang terakhir sampai hampir dua tahun."

Sorry Not SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang