Part 22

106K 10.5K 391
                                    

Ujian Akhir Semester resmi berakhir. Tugasku sebagai dosen untuk semester ini rampung sudah. Nilai-nilai mahasiswaku sudah kuberikan kepada pihak administrasi kampus. Mereka yang akan menginputnya di website.

Kalau ditanya apa aku baik-baik saja melewati hampir tiga minggu ini, tentu saja kujawab tidak. Melihat Kahfi di ruang dosen, laboratorium, gedung kampus, atau parkiran menyebabkan dadaku makin nyeri.

Dia memang jagonya menjaga mood. Dia tak terlihat kesal padaku. Maksudku, dia bersikap biasa saja. Menyapaku ketika berpapasan, pamit jika akan pulang duluan, atau hal-hal semacamnya. Tindakannya itu yang membuatku semakin yakin kalau sepertinya cuma aku yang tersakiti disini.

Bu Anita sadar akan perubahan perlakuan Kahfi ke aku. Kahfi memang manis pada semua orang, tetapi sebelum pertengkaran kami, semua juga tahu kalau dia ekstra manis padaku. Saat Bu Anita bertanya apa yang terjadi, aku cuma memberi seulas senyum tipis.

Aku pamit pulang pada Bu Anita. Cuma dia dosen yang ada di ruang guru saat itu. Dia masih sibuk dengan berbagai lembar jawaban. Dia cuma mengangguk. Kulangkahkan kaki menuju parkiran.

"Kak, makasih ya buat nilainya," Rio berucap saat kami berpapasan di pintu ruang dosen.

Kami berjalan bersisian. Dia mengikutiku. Aku tak peduli.

"Wajahnya galau mulu," dia pasti mengejekku. Dasar bocah tengil sialan.

Tak kugubris. Biarin dia ngomong sendiri.

"Sebagai ucapan terima kasih, aku mau traktir Kakak makan. Gimana? Ntar kita bakal pisah satu bulan lho, Kak. Yakin nggak bakal kangen aku?"

Aku menghentikan langkah lalu memalingkan wajah padanya. Dia tersenyum lebar. Tak merasa bersalah sama sekali. Ini anak memang minta dikuliti.

"Mau?" tanyanya lagi.

Kutatap matanya tajam. Aku menarik napas, lalu membuangnya, kemudian berjalan lagi.

Dia masih mengekor. Ya Tuhan!

Aku menekan kunci mobil. Kutarik handle pintu, tetapi pintu mobilku ditutup kembali. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Rio.

"Mau kan, Kak? Mau dong," pintanya dengan mengatupkan kedua tangannya di depanku. Dia memohon seakan aku dewa. Ngerti maksudku, kan?

Aku menghela napas. Baiklah. Kalau nggak dituruti, bisa nggak tenang hidup aku.

"Yasudah. Tapi sekarang," balasku sambi memasang senyum miring.

Wajahnya melongo. Kan, pasti dia nggak bisa kalau sekarang.

"Oke," dia mengacungkan dua jempol padaku.

Mataku terbelalak. Shit. Tanpa izin, Rio memutar menuju kursi penumpang lalu masuk ke dalam mobilku. Dia duduk santai sementara aku membawa mobil meninggalkan kampus.

"Mau kemana?" tanyaku ketus.

"Pilihannya cukup sulit, Kak," Rio menggumam.

"Emang apa?"

"Antara KFC dan McD. Kakak suka yang mana?"

Aku menepuk kening. Ya Tuhan. Aku kira dia bakal traktir di cafe-cafe yang bertebaran di Kemang atau Senopati.

Masih memasan wajah ketus, aku berkata, "saya nggak makan junk food."

Dia nyengir. Nyengir andalannya. Aku bahkan sampai mengelus dada meladeni tingkah absurd bocah ini.

Ngidam apa ya dulu emaknya? Kok anaknya tengil banget gini.

"Ke PI aja, deh. Banyak pilihan disana. Sekalian temani aku cari sesuatu. Boleh kan, Kak?" dia memasang tampang sok polos yang malah bikin aku pengen nonjok mukanya.

Sorry Not SorryWhere stories live. Discover now