Part 23

130K 11.2K 670
                                    

Kalau aja kepala si Sekar transparan, aku nggak perlu mengiyakan permintaannya untuk ngobrol lebih lama denganku. Aku mau tahu maksud sebenarnya datang ke kediamanku tanpa perlu menghabiskan waktuku.

Emang dia siapa ngatur-ngatur gue?!

But, here I am now. Aku duduk di depannya sekarang, di sebuah kafe kecil yang berada di kompleks perumahan tempatku tinggal. Dia dari tadi nggak berhenti memilin roknya.

Aku tak bisa menyembunyikan kejengkelanku. Kutatap dia setajam mungkin, biarin dia merasa terintimidasi.

Cokelat panas yang kupesan tiba. Langsung kusesap. Kalau jujur, aku nervous juga lho. Bukan nervous yang gimana-gimana, aku takut aja dia ngomong sesuatu yang bikin hatiku cenat-cenut.

Holycrap bahasaku!

"Nggak diminum kopinya?" aku memutuskan bersuara.

Dia mengangkat kepala, memberikan senyum kikuk, mengangguk pelan, lalu meminum kopi pesanannya. Dia cewek, kalem, kecil, tapi minumannya kopi, black pula.

Senyuman miris kini menghiasi wajahku. Kahfi kan juga suka kopi.

Aku mengetuk-ngetukkan jariku yang lentik di atas meja. Biar dia tahu, aku tuh punya batas kesabaran.

"Kak, sebelumnya," tuhkan bener. Dia ngerti maksud dari tindakanku. "saya mau berterima kasih ke Kakak soal nilai Anas 1 saya."

Aku menjaga wajahku agar tetap datar. Dia nggak boleh membaca pikiranku. No way!

"Maaf juga karena waktu itu saya nangis-nangis di depan Kakak, pasti Kakak nggak nyaman banget dengan perlakuan saya. Saya...saya...saya kalap waktu itu. Ma..maaf, Kak."

"Hmm,"

"Seharusnya...seharusnya saya tahu, Kakak nggak akan setega...setega itu dengan saya."

Kata-kata yang baru diucapkannya membuatku menghilangkan ekspresi datar yang kupertahankan sejak tadi. "Emang kamu siapa sampai berpikir saya nggak akan setega itu dengan kamu?"

Kepalanya tertunduk lagi, kedua tangannya memilin roknya lagi. Sial. Itu kayaknya jurus andalannya kalau sudah dipojokkan. Mungkin itu berhasil untuk Rio dan Kahfi. Jangan panggil aku Renata kalau aku tertipu dengan tindakan bodoh begitu.

"Kamu harus tahu, siapa pun kamu, siapa pun kalian, kalau kalian pantas saya luluskan, pasti saya luluskan di kelas. Jangan berpikir kalau saya subjektif. Kamu paham?" tukasku tajam. Aku mau perempuan di depanku ini menghilangkan mindset nya soal aku yang bisa saja memberikan special treatment untuk beberapa orang.

"Ia, Kak. Ma..maaf. Saya...nggak...berpikir begitu, kok," ucapannya makin terbata-bata. Sukurin lo.

Aku menyesap lagi cokelatku. Kubiarkan dia menyusun kata-kata apa lagi yang mau dia sampaikan. Aku ini baik. Kalaupun mau mengintimidasi, nggak sampai orangnya semaput, kok. Tenang aja.

"Saya...saya sama sekali nggak berpikir begitu. Kakak...saya...saya sangat mengagumi Kakak, sebagai dosen, juga sebagai senior saya," lanjutnya lagi.

"Oh,ya?"

Dia mengangguk kuat. Air mukanya sedih, tapi dia nggak nangis. Pelupuk matanya kering, kok.

"Itu sebabnya saya ingin...ingin...berterima kasih secara langsung kepada Kakak. Saya...sudah lihat rekap nilainya. Ternyata...kuis itu nggak dimasukin ke daftar nilai," ucapnya pelan.

Kuis yang kuadakan kemarin memang nggak kumasukkan ke daftar nilai karena kuis itu emang sekadar simulasi untuk UAS yang akan mereka hadapi. Dasar aja dia dan yang lain mikir jelek soal aku.

Sorry Not SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang