Part 12

106K 11K 441
                                    

Pernah nggak sih kalian ngerasa kalian tuh marah banget sama satu orang, but at the same time, kalian senang dia ada disana?

Well, itulah yang kini aku rasakan. Begitu menikmati roti gandum ditemani Papi Mami-Bang Ben sedang berada di Makassar, Bi Ina muncul, menatap kedua orang tuaku lalu menatapku lama. Dia berkata pelan, "ada anak muda nyariin Nak Ren."

Jantungku berpacu dengan cepat. Apa dia Kahfi? Masa Kahfi, sih? Kan aku lagi kesal banget sama dia. Mau apa lagi dia datang ke rumahku? Malah pagi-pagi bener. Tapi kok hatiku maunya 'anak muda' yang dibilang Bi Ina diluar itu Kahfi, ya?

Ren, lo ratunya hipokrit.

"Siapa namanya, Bi?" kali ini Mami yang bersuara. Mami juga penasaran kali, ya.

"Wah, kok saya lupa tanya namanya ya, Bu. Tapi orangnya cakep, Bu. Tinggi banget, pake kacamata," terang Bi Ina.

Fix, itu Kahfi, dosen rese yang setengah hatinya milik mahasiswi bimbinganya.

Perutku mendadak mual membayangkan kemungkinan itu. Masa iya sih Kahfi sebenernya suka sama Sekar? Atau bukan hanya setengah, malah sebenarnya seluruh hatinya milik Sekar? Jadi aku cuma pelarian? Seorang Renata Dwi Whulandary cuma pelarian?

"Mungkin Kahfi, Mi," ujar Papi. "Suruh masuk aja, Bi."

Bi Ina undur diri. Mami Papi tersenyum menggoda ke arahku. Aku pura-pura nggak lihat dan mencoba sibuk dengan roti gandum yang kedua.

Tak lama kemudian, Kahfi menampakkan senyum sumringahnya pada kami bertiga. Bi Ina sudah kembali ke dapur. Dia menghampiri kedua orang tuaku lalu menyalam mereka.

"Silakan duduk, Kahfi. Sudah sarapan?" tawar Mami lembut. Mami mah emang wanita Jawa banget. Pantang baginya tamu nggak diajak makan kalau sudah ke rumah.

"Kebetulan belum, Bu," jawabnya sambil terkekeh pelan.

Aku tersenyum sinis. Papi Mami tersenyum tulus. Jauh banget ya responnya.

Kahfi mengambil tempat duduk di sebelahku. "Pagi, Ren. Kamu nggak keberatan kan saya sarapan di rumah kamu?"

Aku memilih tidak menjawab pertanyaan retorik itu.

"Ada nasi goreng dan roti. Pilih yang mana saja, ya," lanjut Mami lagi.

Kahfi memilih mengambil roti gandum. Sebelum makan, dia berucap terima kasih kepada kedua orangtuaku.

Diam-diam, aku melirik dia yang lagi mengunyah rotinya. Walaupun aku lagi maraaaaaaah banget, tapi mendapati dia pagi-pagi datang ke rumahku, entah kenapa hatiku menghangat. Aku jadi mengutuki diriku sendiri yang gampang banget diluluhkan pertahanannya oleh keberadaan Kahfi.

Apa Kahfi sudah benar-benar mengisi hati dan pikiranku, ya? Masa tindakan dia yang begini saja sudah mengurangi kadar kekesalanku padanya? Masa secepat ini seorang Renata ditaklukkan laki-laki? Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, lho.

Ini sebenarnya rekor baru dalam sejarah percintaanku. Dulunya, butuh waktu hampir satu tahun tiap mantan pacarku mendekatiku sampai akhirnya aku menerima cinta mereka. Banyak sekali hal yang kupertimbangkan sampai akhirnya aku memilih untuk menerima atau menolak cinta mereka.

Tetapi Kahfi berbeda.

Di kencan kedua, dia sudah berani menciumku. Oke, itu tidak bisa disebut ciuman. Hanya kecupan. Tetapi, di kencan kedua saudara-saudara!!! Aku bahkan tidak akan membiarkan pacar-pacarku sebelumnya untuk menciumku sebelum kencan ke dua belas. Peraturan bodoh itu membuatku hanya pernah dicium oleh pacar terakhirku saat di Brisbane. Ngomong-ngomong, apa kabarnya dia sekarang,ya?

Sorry Not SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang