Special Part-Confession

94K 7.3K 145
                                    

Rio's Point of View

Setiap orang yang kenal gue, pasti mikirnya gue cuma cowok tengil yang hobinya cengengesan gak jelas dan bertindak sesuka hati tanpa mikirin dampaknya. Gue hargai pendapat mereka soal gue. Bodo amat. Asal nggak ngerugiin, bebas aja lo semua mikir gue gimana.

Pertama kali gue ketemu Sekar-waktu itu kami lagi ospek kampus-gue mikir ini cewek beneran tipe gue. Imut-imut kecil gimanaa gitu. Apalagi waktu dia gemeteran karena dikerjain salah satu senior, gue bukannya kasihan malah gemes liat tingkahnya.

As time goes by, rasa tertarik gue ke dia berubah jadi rasa care dan sayang. Gue selalu ada saat dia butuh bantuan. Dia nggak punya kendaraan selama ngampus. Kalau ada hal yang urgent, gue jadi barisan pertama yang menawarkan bantuan.

Semua tentang Sekar gue tahu. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, asal daerah, nama ibu bapaknya, nama adik-adiknya, makanan kesukaannya, film favoritnya, bahkan cowok yang dia taksir pun gue tahu.

Lo semua pasti mau ngetawain gue, kan?

Dari awal gue lihat interaksi dia dengan Pak Kahfi, I know she's into him, deeply. Gue selama ini ya denial aja. Bahkan saat Kak Renata-dosen sekaligus senior gue-curiga dengan mereka berdua, gue belain Sekar mati-matian. Gue bilang aja dia salah sangka. Untungnya dia sedikit percaya sama gue.

Emang, sih, gue nggak sepintar Pak Kahfi yang bahkan uda S3. Dari Birmingham pula. Gue kayak remahan rengginang dibandingin sama dia dari segi akademis. Tapi kalau soal cakep, gue nggak kalah, kok. Gak percaya? Ayo jumpa langsung sama gue. Soal kebaikan, ya elah, gue rela ninggalin praktikum gue begitu dengar kalau Sekar pingsan. Gue dihukum bersihin lab jalan raya seminggu penuh. Sedih nggak tuh?

Sebenarnya, kehadiran Kak Renata sangat menguntungkan gue. Dia dekat dengan Pak Kahfi, Sekar jadi sedikit jaga jarak dengan itu dosen satu. Salut juga gue sama Kak Renata, sebegitu cepatnya Pak Kahfi kepincut sama dia. Gue nggak mau aja bilang ke Kak Renata, entar dia kegeeran lagi.

Dibalik sikap tengil yang melekat di diri gue, gue adalah pendengar yang sangat baik. Makanya banyak temen-temen curhat ke gue. Bahkan Kak Renata pun curhat ke gue, lho. Dia ini kan anaknya sebeneenya jaim banget. Hapal luar kepala gue sama sifatnya.

Kalau Sekar udah curhat, gue dengerin tanpa pernah sela ucapannya. Dia cerita masalah kampus, semuanya. Kecuali soal perasaan tak terbalasnya dia ke Pak Kahfi. She keeps it confidential, gue hargain. Kan gue ceritanya sayang banget sama dia. Gak mau gue paksa-paksa kalau dia emang nggak suka sama gue.

Beberapa bulan lalu-gue lupa tepatnya bulan berapa-gue nekatin buat nembak dia. Gue traktir dia makan di salah satu cafe di Senopati. Tapi, nasib sial, gue ditolak. Katanya dia udah nganggep gue sahabat sejati gitu. Klise,kan? Gue tanya apa dia suka sama orang lain, kepalanya nunduk. Gak berani jawab. Fix, dia masih keukeuh dengan perasaannya pada Pak Kahfi.

Galau berat gue saat itu. Gue confess dengan taruhan persahabatan gue dengan dia. Setelah gue nembak dia, dia emang sedikit menjauhi gue. Karena masih sakit hati, gue jauhin balik.

Tapi dasar gue cinta mati sama dia, gue berusaha buka percakapan lagi dengan dia. Gue mau tunjukin ke dia kalau gue nggak berpemikiran picik. Walaupun dia nggak balas cinta gue, persahabatan kami nggak akan rusak.

Waktu dia gak bisa ikut kuis dadakan yang dibuat Kak Renata, hati gue sakit lihat dia berlinangan air mata mohon-mohon ke Kak Renata buat ikut kuis dadakan. Dasar deh itu orang emang sadis banget, dia nggak peduli. Gue marah lho saat itu sama Kak Renata. Bukan cuma marah, gue juga kecewa dengan sikapnya yang nggak profesional. Eh gue malah dimarahin balik. Nasib amat ya Allah.

Sorry Not SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang