Part 16

105K 10K 388
                                    

Aku habis-habisan digodain Bang Ben soal penampilan Josephine Skriver di VS Fashion Show yang di Shanghai. Katanya Jojoku nggak layak buat dapat two huge wings seperti yang dikenakannya beberapa waktu lalu. Okelah, kuakui penampilan Jojo nggak sebaik tahun lalu saat dia pakai Swarovski Outfit, tetapi bagiku dia tetap stunning dan aku tetap ngefans sama dia.

Bukan cuma itu, Bang Ben juga sibuk bertanya soal perkembangan hubunganku dengan Kahfi. Kalau soal itu, aku memilih membalas dengan ngegodain dia soal Oliv. Setiap sebut Oliv, itu anak langsung salting, Bok. Garuk-garuk kepala kayak orang ketombean. Belum lagi wajahnya yang langsung memerah. FYI, wajah kami berdua emang gampang banget merah. Keturunan Mami deh kayaknya.

Kini kami sedang duduk berdua, menikmati mix juice, campuran nenas dan papaya buatan Bi Ina. Segar banget. Ditambah camilan lumpia oleh-oleh dari salah satu kolega Bang Ben, kami menikmati malam yang entah kenapa gerah itu dengan nikmat di taman belakang rumah.

Sebenarnya aku sedang menyusun bahan presentasi untuk mata kuliah Mekban terakhirku. Tidak terasa, bulan depan mahasiswa-mahasiswaku akan menjalani UAS. Semakin dekat UAS, semakin banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Sebuah materi kuliah harus tuntas sesuai silabus. Rekap nilai kuis, tugas, dan UTS juga harus segera kuselesaikan. Aku juga harus menyusun soal-soal untuk ketiga mata kuliah yang kuajarkan. Belum lagi penelitianku dengan Pak Bachtiar yang terdapat sedikit kendala karena istri Pak Bachtiar yang sakit sehingga beliau lebih banyak memintaku untuk mengolah data.

Tetapi, bukan aku aja kok yang sedang sibuk. Bang Ben juga sedang mengerjakan sesuatu di depan laptopnya. Ntah apa. Kami duduk berhadapan, jadi masing-masing tidak tahu sedang mengerjakan apa.

"Dek, lo kenal Pak Arya?" tanya Bang Ben begitu melihatku merenggangkan otot. Pegal juga melotot terus di depan laptop.

Aku mengangguk. Dia kan salah satu dosen yang belakangan ini sedang ramai dibicarakan. Banyak banget proyek sampingannya. "Lagi pegang banyak banget proyek tuh, Bang. Kenapa emang?"

"Iya, kemaren kita ketemu di seminar yang di Sheraton. Dia punya perusahaan penyedia baja, dek," lanjut Bang Ben.

"So?" tanyaku. Bingung aja gitu, emang kenapa?

"Gue juga pengen buka gitu, Dek. Sediain material gitu. Jangan Cuma jadi pemborong aja," ucapnya lagi.

"Urus perusahaan Papi aja dulu, Bang," aku mulai mengerti maksud abangku ini. Dia pasti mau buka usaha lagi. Kurang sibuk apa coba dia di kantor Papi? Mau nambah kerjaan aja. "Kerjaan masih banyak banget. lagian perusahaan Papi kurang gede apa sih sampe lo mau buka usaha lain lagi?"

Dia menggoyang-goyangkan telunjuknya. "Bukan soal itu. Kali ini, perusahaan memang gue yang buat, atas nama gue, modal gue, pokoknya emang milik gue. Tanpa intervensi Papi."

Aku geleng-geleng kepala. Laki-laki memang nggak ada puasnya. Okelah, tinggalin kerjaan ini sebentar.

"Perusahaan Papi juga perusahaan lo. Milik lo. Nggak usah aneh-aneh dulu, deh. Lagian lo mau buka apa? Baja juga? Saingan dong elo sama Pak Arya," sahutku lagi.

"Rencananya bata ringan."

Aku mencebik. Bata ringan pula. Emang sih sekarang sudah mulai banyak proyek yang menggunakan bata ringan karena setelah dihitung-hitung lebih irit karena bisa hemat ukuran pondasi. Tapi kan—

"Susah buat ngenalinnya ke pasar, Bang. Saingan lo uda cukup banyak. Yang paling berat ya Pak Wijaya punya," balasku lagi.

"Ya, entar gue ikut pameran kalau ada seminar-seminar, Dek. Kalau bisa, proyek di kantor Papi pakai bata ringan punya gue. Kan cocok? Masa selamanya kantor kita pakai bata ringannya Pak WIjaya mulu?" dia masih tak mau kalah.

Sorry Not SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang