Chapter 19

51 7 4
                                    

(Penyesalan)

Saat asap yang mengepul itu benar-benar hilang, aku melihat kunci gembok sudah tergeletak di dekat jeruji. Aku langsung mengambilnya dan membuka pintu jeruji untuk menghampiri Ryuuji.

Air mataku tidak berhenti menetes saat tanganku gemetar memegang kunci untuk membuka gembok tersebut. Badanku yang terasa lemas, membuatku merangkak untuk menghampiri tubuh Ryuuji.

Saat berada di pangkuanku, bagian dari keningnya seperti berlubang dan mengeluarkan darah. Teriakanku kembali meledak tak tertahankan setelah melihat wajah Ryuuji yang hampir seluruhnya bersimbah darah.

Aku terus memanggil-manggil namanya dan berharap Ryuuji membuka mata. Tapi semua itu percuma karena nyawanya sudah tidak tertolong.

*****

Hari begitu cerah di acara pemakaman. Tapi semua orang yang mengikuti acara di pemakaman terlihat seperti berjalan di bawah derasnya guyuran hujan dengan berseragam pakaian serba hitam. Semua kepala tertunduk memandang peti mati yang sudah berada di liang lahat.

Utao-senpai, Minami-senpai, Rena-senpai dan Airi juga terlihat menagis tertahan. Aku tidak tahu apa mereka menangis karena kepergian Ryuuji atau karena melihatku yang menatap kosong ke arah peti mati dengan berdiri tertatih diboyong oleh pamanku.

Dulu aku sangat takut dengan jasad. Aku takut jika jasad itu akan terbangun dan menjadi zombie seperti dalam film yang pernah kutonton saat aku masih kecil. Tapi saat ini aku berharap ada sesuatu yang membuat peti itu bergerak. Bahkan jika itu Ryuuji yang berubah menjadi zombie, aku akan tetap memeluknya untuk meminta maaf karena pertengkaran pertama dan terakhir kami yang tidak terselesaikan.

Aku masih menganggap kejadian saat ini hanyalah sebuah mimpi. Aku berharap seseorang akan datang membangunkanku dari mimpi buruk ini.

Tangisanku kembali pecah saat beberapa gundukan tanah dari skop mulai menimbun bagian-bagian dari peti mati tempat Ryuuji tebaring di dalamnya.

Kakiku seperti tak kuat untuk menahan berat badanku meski aku masih diboyong oleh pamanku. Aku langsung duduk bersimpuh dan mulai memanggil-manggil kembali nama Ryuuji.

Pamanku yang juga sedang menangis berusaha menenangkan dengan memelukku. Beliau terus mengelus-elus kepalaku dan meminta agar aku bisa menerima kenyataan yang sangat menyakitkan ini.

(I)

Saat acara pemakaman selesai, kenyataan pahit ini sudah kutelan bulat-bulat. Berusaha menerima kenyataan bahwa ini bukanlah sebuah mimpi. Meski begitu, hatiku tetap tidak sekuat baja dan mentalku tetap tertekan. Aku tidak bisa menjawab semua pemberian kata semangat dari orang lain agar aku tetap tegar.

Aku langsung mengurung diri di kamar Ryuuji. Mengingat semua kenangan saat setiap pagi aku membangunkannya tidur dengan masih berselimutkan gambar dari karakter pahlawan.

Ketika bayangan dari mataku seperti melihat wajah Ryuuji saat terbangun dengan mata mengantuk, aku malah teringat penyebab dari tindakan nekad yang dilakukan olehnya.

Ada sesuatu yang seperti merasuki tubuhku, hingga aku seperti kembali mendapatkan kekuatan setelah dari tadi badanku terasa lemah meski hanya untuk berjalan. Dengan berteriak sekuat tenaga, tanganku mulai merobek-robek poster dengan gambar pahlawan yang sedang tersenyum dan sangat digemarinya yang hampir menempel pada seluruh dinding kamarnya.

"Kenapa!? Kenapa kau tersenyum!? Adikku meninggal karena meniru yang kau lakukan!"

Aku tarus menjatuhkan dan membanting setiap hal yang berkaitan dengan pahlwan dalam film yang selalu ditonton oleh Ryuuji. Dan emosiku seperti tertahan dengan boneka figur pahlwan yang masih tergeletak di tempat tidur Ryuuji. Boneka yang sangat disayanginya hingga dia hampir tidak mau tidur jika tidak memeluk boneka tersebut. Boneka dari hadiah ulangtahun yang diberikan oleh Kagami.

Anata no Egao (Senyumanmu)Where stories live. Discover now