Aku tak menjawab tapi memilih menuruti saja perintahnya. Mau bagaimana pun, Rio ini mahasiswa favoritku. Juniorku sejak dulu. Rajin bantuin aku saat nyusun TA.

Setelah memarkirkan mobil yang syukurnya belum begitu padat, kami memasuki Plaza Indonesia. Keliling-keliling menentukan tempat makan, akhirnya Rio memutuskan untuk makan sushi hari ini. Aku nurut.

Sambil menunggu pesanan, aku mengecek ponsel. Ada pesan dari Kadek. Katanya aku harus datang di acara wisudanya minggu depan. Kubalas oke. Akhirnya Kadek beneran menyelesaikan program S2nya. Aku turut senang.

"Kok bisa baik banget sih, Kak, kasi aku nilai B?" tanya Rio memecah keheningan.

Bola mataku berputar. "Terima aja, gak usah banyak tanya."

Dia cekikikan. "Nggak nyangka lho aku. Kirain C. Nggak nyesal jadi komting."

Pesanan kami datang. Dua porsi sushi, segelas teh melati dan jus jeruk.

Rio langsung menyantap sushinya. Dia kelaparan banget kayaknya. Aku memilih menyesap tehku terlebih dahulu. Haus juga.

"Makan, Kak. Gratis lho ini," dia masih saja mengoceh. Heran.

Aku mengambil sumpit, mencomot sepotong, lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Kami sekelas nggak ada yang gagal, lho. Baik banget ya dosen aku yang satu ini," Rio kembali membuka obrolan.

"Ya emang kalian semua pantas lulus," balasku sekenanya.

Aku nggak berbohong. Memang mereka pantas lulus, kok. Nilainya cukup semua. Kebanyakan karena ditolong oleh tugas dan kuis, jadi saat mengerjakan ujian, mereka sudah terbiasa.

Dia mengangguk-angguk.

"Kak, sorry banget nih, ya. Tapi kok gue ngerasa belakangan ini elo kebanyakan diemnya?"

Rio sudah kembali dengan gue-elo nya.

Aku mencibir. "Sok tahu banget lo."

Dia tergelak. "Jangan bilang ke gue, lo dan Pak Kahfi end?"

Aku tak menjawab. Tiba-tiba saja sushi ini berubah hambar, nggak senikmat saat di awal aku memakannya.

"Beneran? Padahal gue bercanda," dia berceloteh lagi. "Oh iya, gue juga mau minta maaf soal kuis dadakan yang lo buat beberapa minggu lalu, Kak. Lebih ke tuduhan gue soal lo yang bakal nggak profesional."

Sumpit yang ada di tanganku terlepas. Aku menatapnya tajam. Beneran, ya, aku paling nggak suka soal kejadian itu. Emang mereka pikir aku anak kecil yang nggak bisa bertingkah sesuai situasi dan kondisi?

"Ternyata, lo tetap dosen plus senior favorit gue. Hal yang sama berlaku buat gue, kan? Gue tetap mahasiswa plus junior favorit lo?" tanyanya dengan senyum yang bikin aku mau tak mau memberikan senyum tipis.

Aku menatap sushiku yang setengahnya saja belum habis. Sementara Rio, kayaknya dia mau pesan seporsi lagi.

"Apa gue kelihatan sechildish itu,ya? Sampai semua orang mikir gue bakal berbuat yang nggak-nggak ke Sekar?" aku bertanya frustrasi.

Rio terdiam mendengarnya, mungkin merasa bersalah.

"Asal lo tahu, butuh usaha yang gede banget untuk bisa menekan ego gue soal kejadian kemarin. Cara kalian menuduh gue, buat gue merasa kalau gue memang tetap cewek manja yang nggak bisa berpikir rasional," kukeluarkan semua unek-unek.

"Kak, bukan gitu maksud gue—"

Aku mengangkat tangan, pertanda agar dia jangan menyela perkataanku.

Sorry Not SorryWhere stories live. Discover now