Sambil tersenyum, Toneri menggeleng seolah berkata bahwa dia tidak merasa direpotkan.
Sementara Hinata masih takut-takut ketika tangannya merasakan dingin memegang minuman itu.

"Ayolah, anggap saja sebagai permintaan maafku," desak lelaki itu.

Tawaran yang bagus, Hinata akui. Namun, ketika dirinya tahu akan berada dalam bahaya jika menerima tawaran Toberi, maka itu artinya sangat buruk. Dia tidak akan tahu apa yang akan Toneri lakukan setelah itu. Apakah disekap, atau diperkosa dan disiksa sampai mati.

Dalam gugup, suhu tubuhnya membeku. Mulut terasa kering sampai tenggorokannya pun seperti ditaburi serbuk kasar yang membuatnya sulit untuk menelan ludah. Sampai secara tidak sengaja, sebuah refleksi karena haus, Hinata meneguk minuman soda itu sebanyak mungkin, tanpa sadar.

Glek!

Glek!

Tinggal beberapa teguk lagi, Hinata teringat dengan kedua matanya membulat sempurna. Dia terjun ke dalam jurang sendiri. Detak jantungnya semakin memacu, takut kalau tiba-tiba dia pingsan atau melakukan tindakan memalukan seperti orang mabuk. Melakukan apapun tanpa kesadaran.

"Sudah malam, ayo aku antar," tawar Toneri lagi sambil berusaha menarik tangan Hinata.

Gadis itu mencoba menghindar dan membalas, "Ti-tidak perlu, sebentar lagi busnya pasti datang."

"Begitu? Ya sudah, aku bisa temani di sini sampai busnya datang."

Tubuh Hinata bergerak resah saat Toneri bersikeras untuk tetap di sana. Takutnya, dia benar-benar akan mengalami sesuatu yang mengerikan. Karena Toneri yang begitu memaksa untuk bersama dengannya.

Hinata terus berdoa agar bus segera datang, lalu segera naik dan pergi dari hadapan Toneri. Tidak masalah jika dia bertingkah seperti orang gila atau jatuh pingsan di dalam bus nanti.

Udara semakin dingin, sementara Hinata mulai didera rasa kantuk. Ditambah kekuatan angin membuat matanya pedih dan ingin cepat-cepat tidur. Tetapi bus yang dia tunggu-tunggu belum juga datang. Menolak tawaran Toneri, tetapi bus tidak datang, tidak ada bedanya, kecuali ... mungkin saja dia bakal selamat.

Berkali-kali matanya menutup, lalu membukanya paksa. Hinata merasa ada yang tidak beres. Biasanya, waktu tidurnya diatas pukul sembilan malam. Namun, sekarang baru pukul delapan, dirinya sudah merasa sangat ngantuk.

Hinata terus mencoba untuk tetap sadar, sampai busnya datang.
Tetapi suara klakson mobil membuatnya berjigkrak kaget. Bukan mobil bus, melainkan sebuah mobil sport berjenis ferrari berwarna hitam dengan sedikit paduan biru disana.

"Naruto!"

Bagaikan air di padang pasir, kedatangan Naruto memutus rasa kuatir Hinata. Lelaki itu muncul tepat waktu, di mana Hinata sudah tidak tahan lagi menahan rasa kantuknya yang semakin menjadi.

Hinata lalu berdiri, sebentar memberi salam kepada Toneri sebelum memasuki mobil Naruto.

Tanpa menunggu lama, Naruto melajukan mobil balapnya dengan kencang.
Sementara Toneri harus menggigit lidahnya jengkel. Dia gagal untuk membalas sakit hati adiknya. Hanya geraman yang keluar dari mulutnya. Juga kaleng soda yang ringsek akibat kepalan tangannya yang erat.

Hinata seperti sudah tidak memiliki daya lagi. Bahkan, memasang sabuk pengaman pun Naruto yang melakukannya. Matanya sudah tidak bisa bertahan kebih lama, seluruh tubuhnya lemas. Seperti orang kelelahan yang tidak bisa melakukan apapun lagi selain tidur.

 
Dia benar, Toneri memasukkan sesuatu ke dalam minuman itu. Yang Hinata herankan, kenapa Hinata di masa itu tetap memihak Toneri sementara dia tahu bahwa dia telah diobati? Betapa bodohnya Hinata di masa itu?

Your FutureWhere stories live. Discover now