[105]

156 16 1
                                    

        

Guling-gulinganmu berhenti di suatu ketika.

Kamu merasakan kepalamu menanduk sesuatu dan punggungmu terbentur keras. Nyeri tumpul dan mungkin memar. Kamu tengah berada di lorong lain. Lorong yang lebih gelap, dindingnya tak sama kiri dan kanan (satu logam, satu bongkah-bongkah batu yang disusun tanpa niat), dan lampu-lampu pijar itu terlalu seenaknya untuk disebut sebagai penerangan ruangan. Kamu bangkit dengan berjongkok. Di salah satu ujung lorong tampak sinar terang.

Kamu hendak kembali saja, tetapi tidak bisa. Lereng tempat kamu datang tadi terlalu curam untuk didaki. Terlalu licin, tanpa bidang undakan, tanpa pegangan pula. Tak mungkin kamu kembali ke atas. Inilah jalanmu satu-satunya. Menuju terang.

Kamu mendapati sebuah jembatan. Pegangan maupun pijakannya semua terbuat dari tambang. Tiba-tiba muncul dua sosok, masih berbentuk siluet, di ujung jembatan yang lebih terang. Itu arah yang mau kautuju. Buru-buru kamu merunduk. Kamu berguling ke pinggir pegangan. Kamu berjongkok sambil bersiap menggelantung, ketika langkah-langkah itu lewat dan berhenti tepat di tengah jembatan. Berdasarkan lirikanmu, mereka berdua sama-sama bertopi bulu, sedang berhadap-hadapan, tetapi tetap saling siaga. Kamu menengok ke bawah dan tidak menemukan apa-apa yang menjanjikan di lubang hitam itu.

Kamu terpaksa bergelantungan menyeberangi jembatan, dengan perabotmu yang seadanya. Kait badan, sarung agar tidak luka saat menggeserkan tangan di utas tambang, dan senter kecil darurat di pinggang. Perkiraanmu salah. Rupanya mereka tidak berhenti tepat di tengah, melainkan sedikit lebih dekat ke ujung. Karena mereka begitu jauh denganmu ketika kamu mendaki usai menyeberangi jembatan, mereka tak melihatmu.

Kamu kebingungan harus berbelok ke kiri atau kanan, saat matamu menangkap suatu adegan dari kejauhan.

Itu Archer, Deev, dan Kirkin. Mereka tampak tengah berdebat. Hanya raut muka Archer yang bisa kaulihat dari tempatmu berdiri, dan raut itu tidak mengenakkan. Mendekat mungkin akan menyeretmu ke dalam bahaya; jadi kamu putuskan untuk tetap di situ saja. Archer dan Kirkin berhadapan, saling sembur serapah (ya, itu berdasarkan gestur dan gelagat masing-masing). Dengan cepat, Kirkin mengulang adegan yang sama bersama Deev. Archer merangkak ke belakang Kirkin, bangkit pelan-pelan, sambil menaikkan benda yang tipis dan berkilauan terkena cahaya lampu.

Pisau.

Tahu-tahu, Kirkin sudah dibelati di belikat. Menyerong ke kiri sedikit, sepertinya. Pria tua itu tersungkur ke tanah. Baik Deev maupun Archer tak peduli dengan mayat itu, lalu dengan cepat mereka berkemas dan menghilang.

Ada apa dengan Kirkin? Sudah matikah ia? Apakah kalau kamu mendekat, kamu bisa mengorek informasi penting darinya?

Kamu ingin sekali tahu lebih banyak. Namun, tidak. Kamu memutuskan tidak bersentuhan dengan mayat segar lagi. Daripada terjadi kekacauan dan kamu yang jadi tersangka?

Kamu buntuti saja rute bekas Deev dan Archer sebisamu. Tadi, kamu melihat mereka berbelok ke kanan, usai menyingkirkan Kirkin. Kamu mengikuti. Jalannya mengundak naik. Kadang berupa tangga, kadang berupa bidang miring yang berpelitur rapi. Perlahan, lantai melicin, menjadi logam, dan berpola-pola. Kauamati dari dekat, itu panel. Tak cuma di lantai, dinding pun mulai dipenuhi tombol dan jejalur kabel berbungkus rapi. Sudut-sudut pilar dipenuhi selongsong karet, hingga tak ada suara-suara bersipongang menyakitkan telinga. Senyap. Bahkan langkahmu tidak berbunyi. Pintu di belakangmu menutup, menyingkirkan kemungkinanmu untuk mundur kembali.

Tak ada pilihan lain. Mundur pun harus kamu singkirkan. Yang bisa kamu lakukan hanya maju, bergerak, dan bergerak terus. Bahkan ketika kamu menemukan apa yang tidak ingin kamu lihat.

Hei. Kamu baru saja melihat sesuatu.

Bukan, itu bukan rekan-rekanmu yang hilang.

Kamu tak mungkin mengambil senter yang sudah lenyap itu. Satu-satunya cara untuk tahu adalah mendekat, mengecek sendiri ada apa.

Seorang pria, menyeret seorang wanita dengan perut membulat di sebelahnya, sedang menekan-nekan tombol di depan panel rumit di sebuah pintu raksasa. Layarnya memendarkan kode macam-macam yang tak bisa kaubaca dari jauh. Dugaanmu, panel itu meminta kata kunci, dan pria itu tengah mencoba membobolnya.

Napasmu memburu, terdengar begitu keras ke telinganya, bahkan ketika jarakmu masih sebelas meter.

"Gilles," sapamu.

Ia, seperti sudah tahu bahwa itu kamu tanpa ia perlu menoleh, melonggarkan belitan lengan satunya pada leher si wanita itu. Ya, ia juga wanita yang sama sekali tak asing bagimu. Namun, mereka sama sekali tidak membalik badan. Perhatiannya tercurah total pada panel, berpikir lama pula ia, barulah ia menekan dua angka, dan....

Pintu benar terbuka.

Kamu meronta sedapatnya. "Lepaskan Leth," sambarmu pada bahu Gilles.

Ia tak peduli. Terus saja ia masuk, membuka tirai, memasang tangga monyet, barulah ia kembali kepadamu.

"Sini, masuk," lambainya kepadamu.

Kamu memelesat, dan seketika melongo memandangi semuanya.

Semua.... Sungguh semuanya; ada di sini.


Sebenarnya kamu sedang memasuki ruangan macam apa? Selidikilah semuanya di [108].

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang